“Sawang-Sinawang” dalam Ber-Islam

Sabtu, 16 Maret 2024. Yang aku cemaskan itu benar terjadi. Aku terbangun bukan karena bunyi alarm pada HP melainkan adzan Subuh. Jumat sebelumnya memang ada banyak tugas terjemahan. Belum lagi, perubahan siklus biologis karena puasa membuat waktu tidurku sangat berkurang. Bahu kiri mulai linu dan kaku seperti menanggung defisit tidur selama lima hari. Walhasil, tubuhku tidak bereaksi sama sekali sama dengan suara alarm yang entah berapa menit berbunyi.

Berbekal makan saat buka puasa malam sebelumnya, aku bertekad tetap berpuasa. Aku masih bersyukur hari itu tidak ke kantor jadi bisa tidur jika memang badan lemas. Rencanaku tidak sepenuhnya berjalan mulus. Sekitar pukul 9 pagi di kamar mandi, perutku mulai mengeluarkan gas di dalam badan. Bukan kentut melainkan sendawa yang tiada henti. Kemudian kepala mulai sedikit pusing.

Saat itu, godaan untuk membatalkan puasa begitu besar. Selain karena keluhan di perut, mulai teringat nasi goreng dan kopi susu aren yang belakangan aku sering pesan melalui aplikasi layanan daring. Di tengah gempuran keinginan tersebut, hati kecilku tiba-tiba berdoa:

“Ya Allah, tolong aku. Aku ingin puasa sampai Maghrib.”

Doa tersebut aku ucapkan di tempat yang paling tidak disarankan untuk menyebut nama Allah SWT, yakni kamar mandi. Doaku cepat terkabul. Perlahan, perutku mulai jarang mengeluarkan gas. Keinginan untuk segera memesan makanan favorit menghilang. Aku pun tetap berpuasa.

Sebelum Ramadan tahun ini, aku menyengaja diri mempersiapkan buku tulis untuk mencatat ide untuk aku bagikan ke media sosial. Aku ingin bergerilya melalui amal jariah dengan tulisan-tulisanku. Lantaran sibuk dari Senin hingga Jumat, akhir pekan menjadi andalanku untuk mengaji dan menulis di blog atau di media sosial.

Tetapi, rencana hanyalah rencana. Pada Sabtu tersebut, aku kembali ke kebiasaan lama, menonton film drama dan berselancar melalui smartphone dan pastinya tidur. Tidak dipungkiri melewatkan sahur cukup membuat badan lemas dan ngantuk seharian.

Godaan berkompetisi dalam amal ibadah

Dalam beberapa kali edisi Ramadan terakhir, aku menghadapi perang batin lain. Bukan melawan nafsu, godaan makan atau minum hingga sakit melainkan “sawang sinawang”. Dalam Bahasa Jawa, “sawang-sinawang” berarti melihat ke orang lain lalu membanding-bandingkannya. Kurang lebih, istilah ini menyerupai anggapan “rumput tetangga selalu lebih hijau.”

Lalu, bagaimana wujud “sawang-sinawang” dalam ber-Islam, khususnya saat bulan puasa?

Ambil contoh saat kejadian Sabtu tadi. Di satu sisi aku senang bisa selesai puasa hari itu hingga Maghrib. Di lain sisi, aku menyesal karena aku seharusnya mengaji daripada menonton film dan tidur. Padahal memang saat itu, badan sedang lemas dan tidak mau diajak mikir berat.

Contoh lainnya adalah jeda usai makan sahur hingga sholat Subuh. Beberapa tahun yang lalu, aku menyempatkan diri mengaji agar tidak terlewat sholat Subuh. Tetapi dua tahun terakhir, aku justru mengisinya dengan menonton film ringan agar ngantuk pergi.

Setiap kali aku mengingat Ramadan bulan dilipatgandakannya amalan, aku sering merasa bersalah karena belum bisa mengoptimalkan waktu yang ada. Tetapi di sisi lain, umur yang semakin bertambah lumayan mempengaruhi kondisi tubuh. Terkadang, bisa berpuasa seharian tanpa merasakan mual sudah sebuah rezeki tersendiri. Atau, badan tetap bisa bangun saat sahur meski tidur hanya 3 jam juga hal yang sangat aku syukuri.

Media sosial lumayan mengubah kebiasaanku saat Ramadan. Tentunya, media sosial membuat hari-hariku berpuasa lebih ceria dan sarat ilmu pengetahuan. Aku banyak mendapatkan asupan ilmu serta termotivasi untuk berbagi berkat media sosial.

Namun di sisi lain, saat watak perfeksionismeku kumat, melihat seliweran unggahan teman atau influencer yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an atau menghadiri kajian cukup membuatku merasa “iri” dan “bersalah” ke diri sendiri. Rasanya, ibadahku masih sangat kurang.

Saking seringnya terpapar pada konten Islami di Instagram, hati mulai “macet”. Alih-alih meraih ketenangan, tidak jarang Ramadan tahun ini batin menjadi benang kusut saking banyaknya hal yang tidak terwujud. Pikiran yang terlalu fokus pada kekurangan ibadah sunah membuat bersyukur dapat berpuasa lancar menjadi kabur.

Pada momen ketika aku mulai keras terhadap diri sendiri, duduk berdialog dengan diri sendiri sebelum menyantap sahur dengan menyeruput kopi favorit menjadi yang dinanti. Tentunya, aku mencoba tidak membuka media sosial, bahkan Internet. Absen dari teknologi membuat pikiran dan batin lebih jernih. Barulah aku sadar makna puasa yang wajib perlu untuk ditelaah lagi dan lagi.

Dan aku teringat Ramadan sebenarnya adalah bulan transformasi diri. Selama sebulan, Allah SWT memberikan kemudahan bagi hamba-Nya untuk meninggalkan kebiasaan buruk lalu beralih ke hal-hal baik. Pada kasusku, kebiasaan burukku adalah masih sering merasa kurang dengan diriku sendiri. Jiwa kompetisi yang sering aku agung-agungkan masih acapkali membuatku merasa tidak pernah cukup puas. Aku masih kecanduan ingin mengendalikan hal eksternal atau orang lain. Pengakuan manusia masih menjadi salah satu tujuan hidupku. Ekspektasiku pada orang lain tetap masih tinggi.

Hal-hal tersebut yang membuat hidupku masih goyang, diselimuti kecemasan dan sering merasa kurang. Walhasil, sulit bagiku merasakan cinta-Nya yang begitu besar. Padahal, seperti kejadian di kamar mandi tadi, kasih sayang-Nya sungguh tidak terhitung. Allah SWT akan selalu menolong hamba-Nya yang ingin berjuang puasa. Momen halus tadi menjadi momen sangat pribadi antara aku dengan Allah SWT. Hanya doa tulus seorang hamba agar menjadi pribadi yang lebih taat.

Di tatanan dunia maya dan pergaulan sesama muslim, yang lebih sering kita dengungkan adalah perihal ibadah secara tampak permukaan. Berapa ayat yang sudah dihafal, kajian yang telah dihadiri, hingga konten Islami yang telah diunggah menjadi beberapa indikator yang membuat Ramadan seseorang “sukses”. Tentu saja hal-hal tersebut sangat bagus. Tetapi, buatku sendiri, yang tersulit dan tidak tampaklah yang perlu kita bahas. Berapa banyak yang saat Ramadan ini meninggalkan kecanduan rokok, pornografi hingga berkata-kata kasar yang ia buang demi taat ke Allah SWT dalam satu bulan. Tidak kalah pentingnya, berapa yang berjuang agar menjadi pribadi yang lebih welas asih ke diri sendiri seperti halnya aku saat ini. Ada begitu banyak kecanduan negatif yang mendadak menjadi jernih sebagai musuh saat bulan puasa ini. Mungkin karena saat bulan ini setan dibelenggu jadi umat Muslim bisa melihat secara lebih jelas dan sadar kekurangan diri.

“Sawang-sinawang” dalam ber-Islam sejatinya tidak boleh ada sebab ibadah yang sesungguhnya kita tidak pernah tahu. Itu menjadi hubungan sangat sakral antara seseorang dengan Rabb-nya.

Buku baruku akhirnya terbit (my new book is finally out)

Alhamdulillahirobbil’alamiin..

Setelah sekian tahun review dan promosi buku orang, akhirnya bisa jualan buku sendiri, hehe. Buku ini buku pertamaku setelah proses selama tiga tahun. Lama banget karena emang menulis buku sendiri tidak semulus yang dibayangkan ternyata.

“Jejak Hati dalam Kalam Ilahi” bercerita tentang perjalanan spiritualitasku selama 15-16 tahun merantau di Jakarta. Nggak ngira sih bisa nulis buku tentang agamaku sendiri karena aku sampai sekarang bukan orang yang religius atau spiritualis. Lantaran cap pribadi inilah aku bereksperimen dengan gaya penulisan dalam bukuku ini.

Aku banyak banget berkisah pengalaman pribadi, pemikiran, kritik sosial, hingga kekhawatiran yang selama ini aku lihat sehari-hari. Dari berbagai pengalaman nyata hinga fenomena sosial ini aku mengambil benang merah bahwa meski kita sholat atau puasa sebagaimana diwajibkan dalam Islam, belum tentu memaknai dan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya benar-benar mendarah daging sejak dalam hati.

Akibatnya, ada semacam “ruang tidak kasat mata” antara teks atau ibadah formal kita dengan perilaku bahkan pemikiran kita sehari-hari sebagai seorang Muslim. Hal ini tidak terhindarkan sebab kondisi sosial memang membentuk kita seperti itu, entah kita sadari atau tidak. Karenanya, kita sering merasa “kurang” bahkan saat hidup baik-baik saja. Kehampaan itu bertahun-tahun aku rasakan dan sekarang aku ingin berbagi solusinya seperti apa.

Jika ada yang tertarik baca, bisa beli dengan mengeklik tautan ini:

https://www.qrcbn.com/check/62-2325-9497-912

atau

cukup meninggalkan komentar di bawah. Thank you, thank you, hehe..

To hope is to ignite a candle in the dark

The worlds are offering a lot for us to complaint.  Two worlds; our inner and external worlds. Let me share my own story. Once stepping outside my rented room, my daily sight is about people struggling to make ends meet. From early morning until late evening, I view many try their best to earn halal income. Some open up their food stalls almost throughout the day. They set up modest kiosks permanently and work day in and day out with their family members or relatives. Some have tougher choices. They have to push carts while surrounding my living area. A few will shout what they sell while going in and going out of the alley.

At the moment, Indonesia is gearing up for 2024 General Elections. Three pairs of would-be presidents and vice presidents have been “selling” heavenly promises once elected. Same, same old songs. Every day, I get so sick with current media that write election-related news in such shallow ways. Well, that shouldn’t surprise me because almost all of big media outlets here are owned by conglomerates that are closely tied to one of the candidates.

The news is likely biased. If the public can’t see beyond the lines, they will be easily get carried away to choose one of the candidates. In the era of social media, I am finding the election is getting sickening. The contents are getting non-sense yet produce great engagements. The candidates, and also those competing for the “hot seats” as the representatives at the national and regional levels, hire professionals so that they will look great for the public.

Not too long ago, there was a viral news on one young legislator candidate. She was bullied on Twitter after being discovered to skip classes at her university. How will we vote a would-be candidate who doesn’t even care for her own education?

Money and power are getting clearer than ever to help “people with privilege” so that they remain at the top. Social injustice is more visible for me partly because I live in Jakarta. On one hand, many laymen work so hard that they don’t have options to live healthier and more proper. But look at those at the elite, they polish and manipulate their images to get votes from eligible voters for their own interests.

Hope, well, is that even a thing to consider?

Ustadz Nouman Ali Khan once shared his series of videos titled “The Journey of Faith”. I come back to the series every time I feel lack of hope. Injustice is one of the most common problems that lead some turning atheists. If God were so kind, how come many are tortured outside?

In another video under the same series, ustadz also dropped his knowledge on how the prophet Muhammad SAW had joined a social organization prior to his prophethood career. But, the more he contributed, the problems got bigger and bigger. He then isolated himself to the Hira Cave, the place where Angel Gabriel gave him the first revelation.

What did Allah SWT say to the prophet Muhammad SAW? “Iqra” which means “read.” Here, the ustadz said that the solutions for the problems were beyond the prophet’s understanding because he couldn’t read or write.

So, what has the story got to do with me?

As of lately, I have been attempting to draw lessons from the prophet Muhammad SAW. First of all, I am glad that he was experiencing what I currently face long, long time ago. Secondly, as much as I wish to help those in need, my capacity is very limited. I also believe the prophet Muhammad SAW couldn’t help them all at that time. And the third, which is the hardest one, the solutions are beyond my control. While the prophet Muhammad SAW was asked to “read”, in my case, I believe Allah SWT asks for my efforts to “read” in other ways.

I have to study the Qur’an in deeper ways and ponder the meanings then put the lessons into practice. Only then will I be able to see the world through His lens using the Qur’an. Only then will I be able to view things in more comprehensive views, not seeing daily phenomenon just skin deep.

I won’t even know those who work hard to make ends meet have nobler status than I am in front of Allah SWT. Little do I know they have bigger and better savings for the Hereafter than I do have at the moment. And how will I know their hearts?

Probably, the fact that Allah SWT keeps them limited in terms of material gains save them from doing useless and harmful acts, such as using narcotics or being involved in pornography. Perhaps, their material difficulties make them praying more earnestly than I do.

In reverse, those at the top levels may not be really “save”. Perhaps, their material success may inflict harms in the future. Beyond the glamourous life and applause, they may face trials that may put them in difficult situations. The stances may result in their inabilities to uphold justice.

At last, I have been learning to trust the power of du’a or supplication. Most of the times, I don’t really mean what I ask for His help. Well, the entire prayer or sholat is all about supplication. What I am saying here is specific dua regarding my personal and current state. Now, I have been asking for more and more and while saying them, I have been practicing the belief that Allah SWT is going to answer my prayers.

This has been such challenging tasks for me. At one time, I feel the supplication sounds absurd and non-sense. But at another time, I feel that the supplications really transfer my pain and problems to the One who is able to handle them all: Allah SWT. I know my limit and ability but that doesn’t mean I don’t do anything. Knowing that Allah SWT knows and hears everything comforts me and empowers me as someone worthy of place in this crazy and beautiful world. And all of you are.

Thank you so much for reading this.

Keeping the “Gotong Royong” Spirit Alive

The clock just struck 8 AM when one of our neighbours came to our house. She was bringing a knife and soon after, picked condiments and vegetables. When my mother greeted her, they were like professional chefs. Years of helping our neighbours prepare wedding foods and drinks helped them quickly determine the measure of every food menu. They shortly agreed to name how many kilos were needed for sugar, what type of flour was required, and what vegetable was lacking.

They were not preparing dishes for weddings or other happy occasions. Rather, the busyness at the kitchen was for cooking various menus for commemorating the 1,000th day of the passing of my beloved father. The event is called Yasinan (Qur’an recital). Yasinan is a Javanese tradition that brings together Moslems to pray and recite Surat Yasin of Al-Qur’an. It is never recorded in prophetic tradition but my tribe, Java, the largest in Indonesia, has been upholding the tradition for many generations.

In Yasinan, the host usually prepares traditional Javanese foods that are commonly selected for the occasion. For example, for fruits, we choose bananas, while for meats, we serve chickens. Especially for the 1,000 days, the menus are more diverse than the similar event held on the 40th or 100th day of the passing.

Yasinan tradition dates back to the 14th century. It is popularized by “nine saints” or wali songo who modified a similar tradition by the previous generations who were following Hindu, Buddha, animism, and dynamism religions. They were chanting mantras to protect themselves from their ancestors’ spirits believed to still occupy their houses up to the 1,000th day. The saints then changed the mantras into Qur’an recitals.

Yasinan on the 1,000th day is a big festive. To prepare all the food and drinks, we thanked our neighbours and relatives who were willingly helping us without paying any money for their service. For two days in a row, they spent hours from morning until afternoon cooking, cleaning all utensils, frying, boiling, and washing all the dishes. Some of them distributed the food to all of our neighbours and relatives, a few of whom stayed outside my village.

Most of the volunteers are married women. Full-time workers or housewives, they will devote their time to helping others who wish to hold certain events, including weddings, Yasinan, and childbirth.

One household event means an event for all. The women will manage the food and drinks, the men will handle the equipment and the youth will help decorate and welcome guests. Literally speaking, the event invites all of the residents of the village to participate.

The tradition is still popular in my village, Sambiroto, a tiny area within Karanganyar Regency of Central Java. The mutual cooperation or known as gotong royong remains widespread in numerous villages and sub-regions across Java Island but may come with different specific names.

I have witnessed the gotong royong spirit since I was a very small child. In addition to the big event, all of us will work together to build or mend broken public facilities, such as roads. I often joined in various events when I was in my teenage and young adult years, especially at weddings.

As I have been mostly living in Jakarta since 2007, I haven’t had any chances to participate more in such events. Every time I go home, I am more marvelled by how the neighbours, including my mother, still uphold the tradition.

Because living in a big city has taught me that there is a price for everything, including helping others. Gotong royong principle contrasts with materialism and individualism mostly held by the people of Jakarta. Because of the harsh life in the big city, I find it very hard to maintain the social living method I have been living within the village.

For example, a wedding in Jakarta requires a big amount of money not just for renting a building or a room but also for paying for the food and the drink. It’s impossible to gather dozens of people to cook for the menu with no payment at all.  

In November 2021, I attended the wedding of my beloved relative in Cikarang, located in the outskirt of Jakarta. Her mother confessed that she had to pay almost everything for the wedding, including borrowing a stove from her neighbour. Luckily, she had a few friends who were helping with the food and drink. Because of the few numbers, they had to stay up late at night to finish the meal preparation.

Although Karanganyar and Jakarta are on the same island, the two paint different worlds. In addition to the materialism issue, individualism is the root of all. In my village, there’s no such thing as a real private business because everybody knows everyone’s business. While this may be intrusive in some cases, the village residents are ready to help whenever needed. The key is opening oneself to the neighbours. As such, gotong royong is commonplace and is passed down from generation to generation.

Living in the city, on the other hand, allows me to keep my privacy optimally. During my initial years living in Jakarta, I took pride in the advantage because I am an introvert. As the years go by, I often miss the togetherness shared by my village residents. I have realized that time is so precious and in Jakarta, time is mostly equal to money. But in the village, time is equally shared between making ends meet and spending time with families, relatives, and neighbours.

Tafsir Surat At-Tur (Bagian 4) oleh Ustadz Nouman Ali Khan

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Ayat 13

يَوْمَ يُدَعُّوْنَ اِلٰى نَارِ جَهَنَّمَ دَعًّاۗ

“(Azab Tuhanmu terjadi) pada hari (ketika) mereka dicampakkan ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya.”

Neraka bukan hanya bisa dilihat tetapi juga bisa dirasakan, didengar dan diketahui baunya. Mereka bisa merasakan intensitas dan ingin keluar dari neraka tetapi mereka didorong kembali. Mereka bisa merasakan panasnya neraka, mendengar teriakan dan tangisan di dalamnya. Hal menakutkan tentang neraka adalah neraka akan melihat ke mereka juga. Salah satu nama neraka adalah jahim dan jahim sebenarnya berasal dari kata jafur yang berarti “tatapan seekor singa.” Neraka lapar dengan mereka sedangkan mereka tanpa kekuatan. Inilah visual yang kuat dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.

Seluruh dunia bergerak seperti pergerakan debu. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menggambarkan seluruh dunia yang sangat besar bergoyang. Saat kita menonton dokumenter tentang kosmos, kita merasakan betapa kecilnya kita. Pendapat umum kaum ateis adalah dunia sangat besar dan kita tidak akan penting artinya. Anda akan dihakimi dan menjadi pusat perhatian bagi seluruh dunia.

Anda merasa tidak sepenting itu sebab penganut pandangan ilmiah tadi menyebut bahwa dunia begitu besar sedangkan Anda merasa kecil. Ini memunculkan keyakinan tidak ada penciptanya. Pandangan ilmiah tersebut mengandung konsekuensi. Sebab tidak ada pencipta di dunia yang sangat luas ini, aku sangatlah kecil dan tidak penting. Sebab jika aku merasa diri tidak penting maka setiap hal yang aku lakukan berarti tidak begitu penting. Aku jadi bisa melakukan hal yang aku mau. Setelah aku tiada, aku akan menjadi benda mati. Jadi, aku bisa bermain-main atau  فِيْ خَوْضٍ يَّلْعَبُوْنَۘ

Bumi akan diratakan untuk menjadi pengadilan pada Hari Perhitungan manusia. Poin yang dibahas pada pertemuan sebelumnya adalah manusia sangat sibuk agar dirinya tampak relevan bagi manusia lainnya. Tetapi, setiap perbuatan relevan bagi malaikat yang mencatat segala perbuatan kita. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menugaskan dua malaikat untuk mendokumentasikan apa yang aku lakukan. Yang aku lakukan penting sehingga menjadi catatan yang kuat pula. Dan catatan ini tidak dibuat tanpa alasan melainkan menjadi rekaman atas perbuatan kita.

Dunia mulai runtuh agar kita bisa diadili. Perbedaan ini bisa dilihat lebih lanjut pada surat Ar-Rahman. Faktanya, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menciptakan dunia ini dalam keseimbangan dan keteraturan. Dalam surat Ar-Rahman ayat ke-8:

اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ

“Agar kamu tidak melampaui batas timbangan itu.”

Matahari berada pada jarak yang tepat dari Bumi dan tidak bergerak dari tempatnya. Jika matahari bergerak sedikit saja, kekacauan absolut akan terjadi. Tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menjaga segalanya seimbang dan merawatnya seperti yang Dia inginkan. Intinya, Bumi dalam keseimbangan, oksigen dalam atmosfer juga demikian, begitu pula dengan daun yang tumbuh pada pohon dan tubuh manusia. Tetapi, tidak dengan perilaku manusia yang tidak seimbang.

Satu-satunya yang kacau adalah manusia. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memberikan cara agar seimbang tetapi manusia mengacaukan keseimbangan tersebut. Dunia seimbang dan yang tidak seimbang adalah manusia, kita. Lalu akan datang hari dimana segala sesuatu menemukan keseimbangannya. Dunia akan kehilangan keseimbangannya, runtuh, dan pada hari itulah saya dan Anda akan diadili. Keruntuhan selesai dan kita akan “diseimbangkan.” Selama dunia diberikan keseimbangan, kami diberikan waktu untuk membuat hidup teratur.

Seketika, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى  berpindah ke ayat nomor 14:

هٰذِهِ النَّارُ الَّتِيْ كُنْتُمْ بِهَا تُكَذِّبُوْنَ

“(Dikatakan kepada mereka), “Inilah neraka yang dahulu kamu dustakan.”

Perhatikan kata pada ayat ke-13: “didorong (dicampakkan)” dan saat sampai ke sana, ia menemukan tujuannya. Inilah kiasan bahwa engkau telah sampai pada tujuannya. Inilah api neraka yang dulu kamu pikir bohong dan kamu buat sebagai bahan candaan.

Frase yang kita perhatikan juga adalah “yang dulu kamu sebut kebohongan.” Pada ayat ke-13, “mereka” tetapi pada ayat ke-14 “kamu”. Pada ayat ke-13, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berbicara tentang mereka yang tidak beriman pada hari tersebut tetapi pada ayat selanjutnya, Dia membawa kita ke Hari Perhitungan dan ingin agar kita membayangkan percakapan malaikat yang seolah-olah berbicara ke audiens. Inilah yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى lakukan dalam Al-Qur’an, seperti perjalanan waktu. Ini bisa dilihat dari orang ketiga ke orang kedua, dari “mereka” ke “kamu.” Sehingga, peristiwa dalam Al-Qur’an menjadi sangat dekat dengan diriku sekarang dari yang berbicara tentang masa depan tetapi terasa seperti sekarang pembicaraannya. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى membuat masa depan terasa seperti sekarang. Kita seperti diajak ke adegan tersebut dan kita berada di dalam peristiwa itu.

Gaya bahasa sarkasme yang mereka gunakan kini dipakai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.  “Ingat kan ini api yang dahulu (kalian dustakan)?” lalu mereka didorong ke dalam api neraka. Fakta lainnya, api neraka yang dianggap jauh sebenarnya dekat. Mereka yang senang menghibur diri sendiri atau melibatkan diri dalam percakapan yang kurang bermanfaat mengatakan, “Aku ingin hidup saat ini.” Seakan-akan masa depan itu masih jauh sekali.                                                                                                                                       

Tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan, “Sebenarnya, apa yang kamu anggap jauh sekali selalu merupakan kenyataan yang tetap. Ia selalu ada.” Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak hanya akan menciptakan Jannah dan Jahanam suatu hari nanti melainkan keduanya sudah ada. Kita saja yang belum melihatnya. Mereka menyangkal tentang api neraka. Sebenarnya, yang disangkal adalah tanggung jawab. Saat kita menyangkal tanggung jawab kita, hal tersebut berarti kita mengacuhkan awal penciptaan kita. Sehingga, yang kita bicarakan di sini adalah akibat menyangkal tanggung jawab yang seharusnya kita lakukan.

Ayat 15

اَفَسِحْرٌ هٰذَآ اَمْ اَنْتُمْ لَا تُبْصِرُوْنَ

“Apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat?”

Saat mereka didorong ke dalam api neraka, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menambahkan, “Jadi, ini sihir kan?” Kata “jadi” di sini penting dalam Bahasa Arab sebab melanjutkan ayat berikutnya atau ayat ke-14.

“Sihir” merujuk pada Al-Qur’an. Dulu mereka mengatakan bahwa meski Al-Qur’an turun dari langit dalam bentuk kertas, mereka akan menyentuhnya lalu menyebutnya sebagai sihir. Hal ini juga menimpa pada nabi sebelumnya. Mereka mengatakan, “Kami akan percaya apa yang kami lihat. Bahkan jika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menunjukkan ke mereka, tetap saja mereka akan menyebutnya sebagai sihir.

Keinginan untuk melihat sesuatu tercermin dalam Surat Al-Isra (surat ke-17) mulai dari ayat ke-89 hingga ke-93. Dalam ayat tersebut, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah memberikan berbagai macam cara agar mereka memahami pesan-Nya tetapi orang-orang tersebut hanya ingin mempercayai yang ingin mereka yakini. Mereka menolak semua perumpamaan dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. Mereka malah menanggapi dengan perumpamaan yang mereka buat sendiri.

وَقَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْاَرْضِ يَنْۢبُوْعًاۙ

“Mereka berkata, “Kami tidak akan percaya kepadamu (Nabi Muhammad) sebelum engkau membuat mata air yang memancar dari bumi untuk kami,” (Al-Isra ayat 90).

Hingga ayat ke-93, mereka menginginkan pratinjau seperti apa Jannah itu. Mereka tidak akan percaya hingga Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membawa turun Al-Qur’an dari surga yang bisa mereka baca sendiri. “Katakan seberapa sempurna Rabb aku.” Mereka yang berhak bertanya ataukah Rabb mereka yang seharusnya lebih berhak bertanya? Apakah Rabb mereka harus memenuhi perintah mereka?

Keseluruhan perjalanan manusia dimulai ketika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menanyakan satu hal: “Bukankah Aku Rabb kamu? Ya, tentu saja.” Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى adalah yang bertanya. Sekarang, kamu ingin agar Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengesankan dirimu agar kamu mau berserah diri? Ide semacam ini menunjukkan keangkuhan. Bukan berarti kamu tidak merasa teryakinkan tetapi sesungguhnya kamu berpikir kamulah yang mengatur kenyataan.

Kemudian, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan bahkan jika diberikan yang mereka minta, tetap saja mereka akan mengatakan sihir. Sarkasme dikembalikan ke mereka sebab merekalah yang pertama kali memulainya. Dahulu mereka buta akan peringatan tersebut dan tidak mau melihat kenyataan. Sekarang, apakah mereka masih berbohong atau sudahkah melihat dengan jelas? Itulah pendapat dari mufassirun tentang ayat ini.

Ayat 16

اِصْلَوْهَا فَاصْبِرُوْٓا اَوْ لَا تَصْبِرُوْاۚ سَوَاۤءٌ عَلَيْكُمْۗ اِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Masuklah ke dalamnya (dan rasakan panas apinya)! Baik kamu bersabar atau tidak, sama saja (tidak ada manfaatnya) bagimu. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.”

Kata اِصْلَوْهَا sulit untuk diterjemahkan dalam Bahasa Inggris yang gampang. Kata

صْلَوْ, merupakan kata kerja yang dipakai ketika Anda mengambil benda yang kuat, seperti logam, lalu Anda masukkan ke api untuk sedikit membengkokkannya. Saat sesuatu itu keras dan Anda ingin melenturkannya dengan menaruhnya ke api maka kata salim yang dipilih.

صْلَوْ berarti “menaruhnya ke dalam api untuk melembutkannya.“ اِصْلَوْهَا berarti “Anda dilemparkan ke dalam api seolah-olah untuk melembutkan Anda.”

فَاصْبِرُوْٓا اَوْ لَا تَصْبِرُوْ

Sabar berarti aku bisa menahan sakitnya. Tetapi dalam ayat tersebut, Anda tidak bisa bersabar sebab tidak akan mengubah apapun. Di surat lain dalam Al-Qur’an, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan hal paling mengerikan tentang Jahanam. Dia menyebut betapa mengagumkannya sabar mereka sehingga mereka harus berurusan dengan api neraka. Ini menunjukkan kekaguman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى atas kerasnya sikap mereka. Dalam surat lainnya, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan bahwa tidak akan ada perubahan apakah Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memperingatkan mereka atau tidak. Bahkan mereka pun mengakui hal tersebut.

Sabar merupakan salah satu kata terindah dalam Al-Qur’an serta salah satu sifat yang paling menguntungkan dari orang yang beriman. Misalnya, sabar memberikanku kekuatan. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan jika Anda bisa bersabar dan bertakwa berarti Anda mencapai hal terhebat. Sabar berarti pula akan berhasil. Pertolongan dari malaikat akan datang jika Anda bersabar.

Bersabarlah, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak akan menyia-nyiakan pahala untuk mereka dengan ihsan. Sabar adalah bentuk ihsan atau melakukan yang terbaik yang bisa Anda lakukan.

Contoh sabar di dunia adalah pria atau wanita muda yang belum bisa atau belum mempunyai kecukupan untuk menikah, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan agar mereka bersabar daripada menikahi calon dengan karakter yang kurang baik. Sabar akan mengantarkan ke hal yang lebih besar. Dan tentu saja, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى bersama dengan mereka yang sabar. Sabar sendiri merupakan puncak dari surat Al-‘Ashr. Kini, kata yang sama, sabar, digunakan untuk orang di dalam neraka.

Sabar mempunyai nilai di hidup ini. Segala sesuatu yang bernilai saat ini tidak demikian di Hari Kemudian. Tobat pun demikian. Ia bernilai di dunia ini tetapi tidak saat Hari Perhitungan. Meyakini Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى di dunia ini mempunyai nilai tetapi tidak ketika Hari Pembalasan tiba. Meminta kesempatan kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mempunyai arti namun tidak saat Hari Perhitungan. Kemakmuran mempunyai nilai di kehidupan sekarang tetapi tidak pada Hari Pembalasan. Sehingga, sabar mempunyai banyak arti dalam kehidupan di dunia ini. Jika Anda tidak bisa bersabar dalam hidup ini, silahkan bersabar dalam kehidupan berikutnya. Terakhir,

اِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Sesungguhnya, kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.”

Penggalan yang kuat dari keseluruhan ayat ini. Inilah yang sesungguhnya kamu terima atas tindakan yang kamu lakukan di dunia. Dengan kata lain, kamu menerima balasan atas apa yang telah dilakukan. Sebab di dunia kamu hanya bermain-main maka balasannya adalah api neraka. Dalam surat lainnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut: “Inilah harta karun yang kamu kumpulkan sendiri.” Ini bentuk pernyataan yang sarkas (menyindir). Contoh lainnya, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan tentang mereka yang mencuri harta dari anak yatim. “Mereka sebenarnya hanya menaruh api dalam perut mereka.” (Surat An-Nisa ayat 10).

Di sini, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mendefinisikan ulang hal di dunia memakai standar akherat. Sebagai ilustrasi, saat kita hendak terbang. Ketika di bandara, ada mesin X-ray untuk melihat kondisi di dalam tas bagasi, bahkan isi laptop. Petugas bisa mengetahui kotornya tas dan sebagainya. Yang terlihat di luar adalah bersenda gurau tetapi kondisi di dalamnya, mereka yang demikian sebenarnya sedang menuju api neraka. Mereka menerima balasan sesuai perbuatan mereka. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak menghukum lebih atau kurang dari yang mereka perbuat. Hukuman benar-benar sesuai dengan perbuatan mereka di dunia.

Pada zaman modern seperti sekarang, ada pertanyaan yang muncul seperti ini: “Aku hanya melalui dosa segini lalu mengapa aku dihukum dengan diberikan api neraka? Jika kejahatanku hanya lima menit, seharusnya hukumanku juga lima menit. Rasanya tidak adil aku harus tinggal di neraka selamanya.

Kita mengaitkan nilai di dunia ini seharusnya sama dengan nilai di Hari Kemudian. Ambil contoh, kata لآإِلَهَ إِلاَّ الله, sangat berharga di Hari Kemudian padahal untuk mengucapkannya sangat mudah. Mendeklamasikan Al-Qur’an tidak membutuhkan upaya yang besar tetapi sangat berarti di Hari Kemudian. Menolong orang tanpa diketahui yang lain mungkin di dunia ini terkesan kecil. Begitu pula senyum kepada sesama. Tetapi perbuatan baik tersebut akan dilipatgandakan di Hari Kemudian. Kesimpulannya, sistem nilai di dunia ini tidak bisa dibandingkan dengan sistem nilai pada Hari Kemudian.

Al-Qur’an hadir untuk memberikan nilai baru berdasarkan sistem di Hari Kemudian, bukan di dunia ini. Mari beralih fokus ke nilai perbuatan buruk. Misalnya, mengatakan perkataan buruk ke orang lain, sebagaimana disinggung dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 12. Jika ada seseorang yang masih menganggap hukuman seumur hidup di neraka tidak adil berarti dirinya berupaya menerapkan sistem nilai keadilan di dunia ini dengan sistem di Hari Kemudian. Mari bersyukur Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak melakukan hal tersebut sebab jika iya, tidak akan ada satupun dari kita yang berhak mewarisi Jannah. Sebab, satu-satunya alasan kita bisa ke surga adalah karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melipatgandakan siapa yang Dia kehendaki.

Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melipatgandakan perbuatan baik tetapi tidak demikian untuk perbuatan buruk. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memberi balasan buruk sesuai perbuatan hamba-Nya yang melakukannya. Sekarang bayangkan, jika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut hukuman ini berlaku selamanya, betapa besarnya perbuatan jahat di mata Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى? Mungkin saja, masalahnya adalah hal yang menurut Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sangat besar tetapi tidak demikian bagiku. Ambil contoh, seorang penjahat psikopat yang menikmati membunuh orang. Di benak mereka, perbuatan mereka bukanlah hal yang salah tetapi kita menganggap mereka orang yang sakit jiwa.

Sekarang, mari terapkan hal yang sama. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah memberikan kita standar nilai suatu perbuatan yang layak dihukum api neraka. Aku sebenarnya tidak mengetahui arti sesungguhnya dari tindakanku. Hanya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang tahu maknanya. Dan bukanlah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang Maha Adil dan Maha Bijak?

Ayat 17

اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّنَعِيْمٍۙ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan.”

Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menggambarkan Jannah di sini seperti dalam surat Adz-Zariyat. Dalam surat Adz-Zariyat, Dia mengatakan:

اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّعُيُوْنٍۙ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air,” (ayat 15)

Ingat kata, “taman” dan “mata air.” Surat Adz-Zariyat dimulai dengan hal visual: angin, awan, gelombang. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memulai surat ini dengan hal yang bersifat visual. Sedangkan dalam surat At-Tur, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut anugerah wahyu atau kenikmatan spiritual.

Hal yang pertama disebut di sini adalah muttaqin akan berada di surga. Ini bisa berarti dua hal: mereka berada di surga sebab muttaqin. Tetapi, sebagaimana yang kita lihat berikutnya, bukan itulah yang sebenarnya dimaksud. Mereka berada di surga bukan hanya karena muttaqin. Kita acapkali berbicara tentang taqwa tetapi tidak benar-benar menyinggung bagaimana bisa memperoleh taqwa. Benar-benar sadar akan adanya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dilakukan menurut situasinya. Taqwa saat berada dalam pesta berbeda dengan taqwa ketika di kantor. Beda pula ketika Anda seorang diri. Contoh taqwa misalnya Anda ingin mencemooh seseorang tetapi urung melakukannya. Taqwa berarti “apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى inginkan dariku dalam situasi saat ini?”

Salah satu isyarat taqwa dalam Al-Qur’an sungguhlah menarik yakni taqwa menjadi hal tersulit saat kita berada dalam situasi yang berat. Di situlah dimana “apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى inginkan dariku saat ini” menghilang. Pada saat itu, pilihan “apa yang hatiku inginkan saat ini” mengambil alih kendali. Muttaqin adalah mereka yang menyadari adanya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dan melindungi diri mereka sendiri dari emosi mereka. Itulah orang-orang yang sukses.

Dalam surat Al-Furqan ayat ke-43, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mewanti-wanti bahaya mengikuti perasaan, yang bahkan disebut sebagai Tuhan yang salah.

  أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

“Pernahkah kamu melihat orang yang mengambil ‘huwa’ (keinginan) sebagai Tuhannya. Maka, maukah kamu menjadi wakil dari orang itu?” (Surat Al-Furqan ayat ke-43).

Saat ini, perasaan seperti Tuhan. Perasaanku, kebenaranku. Ada banyak slogan “ikuti kata hatimu” sekarang ini yang berarti patuhi apa yang dirasakan. Dengan kata lain, berserah pada emosi.

Islam tidak menampik emosi tetapi membantu menavigasi emosi kita. Akan tetapi, pada beberapa grup, mereka menampilkan ide bahwa kita sebaiknya tidak mempunyai perasaan. Bukan hal yang Islam untuk mempunyai perasaan. Kita harus puas dengan ketentuan dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. Jika kamu tidak puas, kamu tidak mempunyai cukup iman dan tawakul. Coba kita lihat kisah Yaqub عَلَيْهِ السَّلَامِ. Kelompok ini menolak perasaan atas nama Islam. Ketika kita mencoba menekan perasaan, yang justru terjadi adalah malapetaka. Perasaan justru semakin membesar lalu menjadi Tuhan kita. Lalu, apa arti taqwa pada akhirnya?

Taqwa bukanlah menghapus perasaan tetapi mencari jawaban atas apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى inginkan agar aku bisa mengalihkan yang aku rasa. Bagaimana caranya agar aku menyalurkan perasaanku sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى? Kemarahan, misalnya, adalah hal yang valid. Pertanyaannya, bagaimana aku bisa mengelola marahku? Emosi sendiri bisa sangat kuat dan dapat membuat kita melakukan hal yang gila. Bahkan, Nabi Musa عَلَيْهِ السَّلَامِ meminta perlindungan dari setan usai membunuh orang sebagaimana tertulis dalam Surat Al-Qashash ayat 15.

Sehingga, elemen muttaqin adalah mengendalikan perasaanku. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memanduku melalui perasaanku. Jika aku merasa kesepian, aku sebaiknya mengingat Ashabul Kahf, nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَّلَامِ dan nabi Yusuf عَلَيْهِ السَّلَامِ saat ia berada di penjara. Terdapat banyak kisah orang yang terisolir dan sendirian yang dari kisah mereka aku bisa mendapatkan ketenangan. Sebab setiap emosi membukakan celah bagi setan agar kita mengikuti bisikannya menuju hal yang mereka mau. Atau, setiap emosi tersebut merupakan peluang kita menunjukkan ketaqwaan kita kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.

Apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى katakan tentang orang muttaqin?  فِيْ جَنّٰتٍ “mereka akan berada di taman-taman.” Ada pendapat sarjana modern yang non-Muslim terkait hal ini. Mereka pada intinya menyinggung kenikmatan surga berupa taman yang wajar diberikan ke orang Arab yang hidup di gurun. Ada semacam spesifikasi ganjaran surga khusus untuk orang Arab. Sedangkan bagi bangsa lain, misalnya orang di Jakarta, taman bukanlah hal yang terlalu istimewa sebab mudah menemukan pohon di Jakarta.

Dan memang pada zaman dulu, orang Arab berimajinasi mengenai tempat tropis. Sehingga wajar taman atau pohon ditujukan khusus untuk mereka. Balasan ini dirasa pas sebab orang-orang Arab zaman Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan pengorbanan terbesar. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut ganjaran yang memang pantas bagi mereka. Contoh ganjaran tersebut adalah pohon dan kurma, yang disukai oleh para sahabat Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dalam surat Ar-Rahman, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut tenda. Jika Anda bepergian ke Arab Saudi, Dubai atau Qatar, bahkan milyuner di sana akan pergi ke gurun dan mendirikan tenda ber-AC. Begitulah cara mereka bersantai di gurun.

Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut hal yang spesial untuk orang Arab untuk menunjukkan status mereka yang istimewa bagi-Nya. Tetapi, bukan berarti kita atau saya tidak istimewa. Bukan berarti saya tidak akan masuk ke surga hanya karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak menyebutkan ganjaran untuk saya. Sehingga, ada dua kategori. Yang pertama, hal khusus yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Misalnya, “daging burung yang ingin mereka makan.” Jenis daging di sini bisa apa saja, contohnya adalah kalkun.

Masih tentang taman. Tengoklah zaman sekarang salah satu jenis bangunan/arsitektur termahal adalah yang bisa membawa yang di luar ke dalam rumah. Orang yang tinggal di kota besar menginginkan فِيْ جَنّٰتٍ alias rumah mereka dikelilingi oleh hijau-hijauan. Mereka mengharapkan melihat tumbuhan hijau yang ada di luar rumah mereka. Mereka menginginkan air terjun dan kaca di dalam rumah. Inilah bentuk desain yang termahal sekarang ini. Kediaman ini biasanya tidak ada di dalam kota tetapi jauh dari situ. Itupun membutuhkan perawatan yang banyak, misalnya banyak pohon berarti akan ada banyak hama, hewan, dan lainnya. Pemilik harus rajin membersihkannya. Rumah itu terlihat indah tetapi menyebabkan masalah baru. Saat tinggal di rumah di lokasi tersebut, pemiliknya harus pergi jauh hanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Di dunia ini, kita bisa menikmati فِيْ جَنّٰتٍ tetapi tidak untuk  نَعِيْمٍۙ

Sedangkan, di surga nanti, kita bisa menikmati keduanya. Selain kemewahan berupa berada di rumah dengan tumbuhan yang hijau, kita tidak perlu pusing membayar biaya perawatan dan keamanannya. Semua kenikmatan akan dinikmati tanpa kekhawatiran apapun.

Kata na’im bisa mengindikasikan sebuah kediaman tetapi juga bisa berarti segala hal di Jannah merupakan kemewahan. Makanan dan selimut semuanya mewah. Segala hal dirancang untuk membuat kita nyaman. Na’im dalam khazanah dunia berarti orang yang bersyukur atas naim di dunia ini maka ia akan menikmati naim di dunia berikutnya. Kediamanan di Jannah tidak membutuhkan perawatan yang mahal. Cuaca akan selalu sempurna, begitu pula pemandangan dan sekelilingnya. Sulit untuk dibayangkan kesempurnaannya.

Itulah awal kenikmatan surga dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى di sini. Ambil contoh saat kita berlibur, kita bisa jadi merasa cemas. Apakah harganya terlalu mahal? Harusnya kita bisa ke sini, ke situ. Pada akhirnya, kita malah tidak menikmati liburan. Kita tidak benar-benar bisa bersantai. Ada orang yang malah lebih khawatir dan stres saat liburan.

Ide dari fiijannatinna’im adalah terbuangnya rasa cemas dan stres semacam itu. Ada perasaan kedamaian internal selain kemewahan eksternal. Kita tidak stres, tidak seperti saat di dunia dimana bisa saja kita malah mengingat kenangan buruk pada tempat yang sebenarnya indah.

Ada kontras yang indah di sini dimana muttaqin adalah orang yang selalu cemas. Sekarang, saat para muttaqin benar-benar bisa bersantai luar dan dalam. Bandingkan orang muttaqin dengan orang khaud.

Ayat 18

فٰكِهِيْنَ بِمَآ اٰتٰىهُمْ رَبُّهُمْۚ وَوَقٰىهُمْ رَبُّهُمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ

“Mereka bersuka ria dengan apa yang Tuhan anugerahkan kepada mereka. Tuhan menjaga mereka dari azab (neraka) Jahim.”

Kata فٰكِهِيْنَ

mempunyai empat makna:

  1. Sesuatu yang bisa dinikmati dan menyenangkan. Jadi, orang yang fakihin adalah yang menikmati diri mereka sendiri dalam momen yang menyenangkan.
  2. Sesuatu yang membuatmu tersenyum dan tertawa.
  3. Seseorang yang terhibur sepanjang waktu.
  4. Sesuatu yang sangat menakjubkan. Ada antusiasme yang konstan.

Mari bandingkan dengan pengalaman duniawi dimana Anda membawa anak-anak ke kebun binatang setiap hari. Mereka akan terkejut saat pertama kali melihat binatang di kebun binatang tersebut tetapi tidak jika mengunjunginya untuk ke-7 kalinya.  Anda tidak bisa terhibur dan makan makanan yang sama lalu menikmatinya setiap hari. Anda akan selalu membutuhkan hal yang baru.

Ada yang mengatakan: “Aku tidak mau menuju ke tempat yang hebat setiap waktu. Aku ingin menikmati tantangan. Aku ingin menyelesaikan masalah Matematika yang sulit. Aku tidak mau pergi ke tempat dimana tidak ada masalah.”

Kata fakihiin membahas orang seperti ini. “Selamanya” tampak membosankan tetapi fakihiin menghilangkan bosan dari diri Anda. Mari kembali ke contoh orang yang seringkali berlibur hingga mereka tidak menemukan hal yang menarik lagi. Kita tidak akan merasakan hal tersebut saat merasakan fakihiin. Itulah sebabnya orang terus mencari pengalaman baru hingga akhirnya merasa depresi sebab merasa tidak ada lagi yang ditawarkan oleh dunia ini.

Berikutnya, بِمَآ اٰتٰىهُمْ

“oleh apa yang diberikan Rabb mereka.”

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, mereka menikmati lebih dari ketaqwaan mereka. Balasan saat di surga berdasarkan apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berikan, bukan semata karena ketaqwaan mereka. Sedangkan mereka yang masuk ke dalam api neraka memperoleh balasan sesuai perbuatan mereka. Di dunia ini, ketika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memberikan peluang yang bagus, kesempatan tersebut bisa merupakan anugerah atau ujian. Tetapi, pertanyaan “apakah ini baik atau buruk” tidak akan ada saat berada di surga. Tidak ada kecemasan atau kekhawatiran saat berada di Jannah. Aku bisa menikmati semuanya tanpa berpikir berlebihan apakah yang dinikmati hal yang bagus atau akan menimbulkan akibat buruk di Hari Kemudian.

Kebahagiaan tetaplah kurang jika merasa cemas. Ini tentu saja berlawanan dengan makna sabar yang berarti menahan diri. Anda tidak bisa sepenuhnya menikmati. Namun, saat berada di surga, pintu kenikmatan terbuka lebar tanpa adanya konsekuensi. Sungguh bertolak belakang dengan yang kafir yang biasanya menikmati tanpa batasan atau kekhawatiran.

Masih ayat ke-18:

وَوَقٰىهُمْ رَبُّهُمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ

Dalam ayat tersebut, kata Rabb disebut dua kali. Ini menandakan berkah kedua berbeda dari yang pertama. Ketika berada di Jannah, tentu saja tidak berada di neraka. Alasan kedua kata Rabb disebut dua kali adalah berada di Jannah merupakan kebahagiaan pada level yang lebih tinggi. Dia melindungi kita dari hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain.

Ayat 19

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۙ

Kata yang perlu diperhatikan: هَنِيْۤـًٔا

Hanii berarti makanan yang mudah ditelan, lembut, dan menyenangkan untuk dimakan. Anda ingin menikmati setiap gigitannya. Kata ini juga dipakai untuk hewan yang sangat menikmati memakan rumput. Mereka tidak mau berhenti makan hingga sang pemilik harus mengambil makanan itu. Hanii juga merujuk pada makanan dengan efek yang bergizi. Arti berikutnya, “tidak diraih tetapi diberikan.”

“Makan dan minumlah, nikmatilah dan kamu tidak akan merasa berlebihan.” Ingat cerita Nabi Adam عَلَيْهِ السَّلَامِ dan Hawa, yang mendengar perintah, “makan dan minum tetapi tidak dari pohon itu.” Sekarang, tidak ada batasan di surga. Hanii juga berarti kehidupan liar. Kenikmatan di dunia ini sangat terbatas. Kita tetap saja merasakan beban tertentu meski sedang menikmati hal yang menyenangkan. Di surga, hal tersebut akan dihilangkan.

Pada awal ayat ini, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan “mereka” tetapi tiba-tiba beralih ke “makan, minumlah”. Ketika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut “makan, minum”, perintah tersebut tidak hadir di masa depan melainkan pada masa sekarang. Di hidup yang sekarang ini, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى secara harfiah membawaku ke dalam surga seperti pada ayat sebelumnya Dia membawaku ke kejadian di Hari Pembalasan. Kita mendengar Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berbicara langsung ke kita.

Rasanya berbeda saat Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sendiri yang berbicara langsung. Rasa makanan dan minuman ekstra nikmat dan enak. Namun, itu belum cukup. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menambahkan: “Makan dan minumlah sebab apa yang dulu pernah kamu perbuat.” Tetapi kita tahu bahwa kita di Jannah karena kebaikannya. Apa yang dulu kita lakukan tidak akan pernah cukup untuk memperoleh Jannah. Tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengambil perbuatan yang kecil tersebut untuk membuat kita relevan. Perbuatan yang kecil tersebut misalnya kita meninggalkan karir yang buruk. Bagi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, keputusan itu begitu berharga.

Manusia lebih fokus mengungkit kekurangan kita ketimbang kebaikan kita. Di Jannah, tidak ada yang lapar dan haus. Jadi di sini, bukan makan dan minum secara fisik melainkan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى ingin kita menikmati diri kita sendiri.

Pengakuan adalah yang hal yang menghancurkan setan. Beberapa orang melakukan hal biadab hanya merasa tidak diakui. Contohnya adalah saudara dari Nabi Yusuf عَلَيْهِ السَّلَامِ. Pengakuan merupakan penyakit gila yang tertanam dalam diri kita. Ia lebih berbahaya dibandingkan makanan, uang, dan minuman.

Pesan dari ayat ini adalah tidak ada perbuatan baik yang terlewatkan. Aku tidak pernah kasat mata. Merasa tidak terlihat adalah bencana terbesar dalam studi psikologi. Tidak satu pun tidak tercatat. Rabb aku selalu bersamaku sepanjang waktu. Mungkin lebih dari makanan dan minuman, pengakuan dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى itulah yang lebih kita butuhkan.

Ramadan 1444 H, Bulan Terbaik Mengenal Allah SWT dan Diri Sendiri

Sama seperti bulan Ramadan tahun-tahun sebelumnya, aku sudah mempersiapkan target dan kegiatan ekstra untuk berburu pahala tahun ini. Dan seperti bulan yang sama tahun lalu, tidak ada satu target itu yang terpenuhi.

Aku masih aktif di media sosial seperti biasanya meski ingin sekali mematikan media sosial selama sebulan. Rencananya, Sabtu dan Minggu ingin mengaji agar bisa khatam Al-Quran dari surat terakhir yang aku baca sebelum Ramadan. Atau, ingin konsisten mengisi waktu usai sahur dengan sholat Subuh dengan membaca Al-Qur’an.

Kenyataannya, aku tetap pergi ke IKEA hanya untuk membeli tanaman lucu dan desk organizer. Aku bahkan sempat ke klinik kecantikan untuk menuntaskan pengangkatan keratosis seboroik dan perawatan mata. Waktu yang tadinya ingin aku pakai membaca Al-Qur’an sehabis sahur malah aku pakai untuk membuka video di YouTube. Bahkan belakangan, aku masih asyik menonton drama Korea lawas, hehe.

Terkadang aku merasa “iri” dengan beberapa teman yang sudah melangkah lebih maju dalam hijrah mereka. Mereka sering membagikan status keagamaan, pengingat ibadah, atau berbagi inspirasi yang membuatku langsung merasa “bukan siapa-siapa”. Sungguh aku salut dengan mereka. Buatku, bisa konsisten mendengarkan tafsir surat An-Najm dari ustadz Nouman Ali Khan setiap hari sudah menjadi prestasi tersendiri.

Sempat menjalani puasa dengan rasa bersalah

Lantaran dengan target ekstra di atas, hingga pertengahan Ramadan tahun ini aku dihantui oleh perasaan bersalah. Aku melewatkan beberapa kali kesempatan sholat Tarawih demi bisa berbuka puasa di kantor, misalnya. Aku juga sering kecewa pada diriku sendiri yang seharusnya bisa memanfaatkan waktu luang untuk belajar Al-Qur’an atau aspek keagamaan yang lain.

Begitu terbebani hingga aku ingat ada beberapa malam sebelum tidur, aku harus menenangkan diri sendiri. Aku bilang ke diriku sendiri bahwa Ramadan memang bulan mulia tetapi tidak seharusnya menganggapnya sebagai suatu beban. Memang dasar aku seorang perfeksionis, aku ingin menjalani Ramadan dengan sempurna. Aku kerap membanding-bandingkan ibadahku dengan orang lain, terutama yang aku cek di Internet. Aku lupa bahwa perjalanan hijrah setiap orang berbeda-beda. Aku lupa bahwa selain berburu pahala, Ramadan adalah bulan meminta ampunan serta bulan mentransformasi diri.

Ramadan yang lebih realistis

Umur tidak bisa dipungkiri sangat mempengaruhi puasaku beberapa tahun terakhir, tidak terkecuali sekarang. Si doyan tidur ini pada akhirnya memilih molor usai sholat Subuh sehingga terlambat datang ke kantor. Akhir pekan sering aku gunakan untuk tidur untuk mengganti jam-jam yang hilang antara Senin hingga Jumat. Aku biasanya tidur antara jam 10 malam lalu bangun jam 3 pagi untuk sahur. Pernah terbangun jam 2 pagi lalu melek sampai Subuh. Waktu tidur yang kurang tersebut cukup berpengaruh terhadap durasiku beribadah ekstra selain sholat dan puasa.

Setelah beberapa hari, akhirnya aku mengikuti siklus tersebut sebab tidak sanggup bekerja dengan tidur hanya lima jam semalam. Konsekuensinya, aku datang telat ke kantor dan tentunya pulang lebih malam. Itu yang menyebabkan aku berbuka puasa sehingga tidak bisa rutin sholat tarawih.

Tidak disangka pula, pertengahan Ramadan aku malah jatuh sakit. Mungkin fisik yang sudah menua dan kurang berolahraga selama bulan puasa, cuaca panas ekstrem Jakarta sungguh merepotkan badan ini. Buyar sudah rencana ingin berbagi makanan bersama sosok mulia bareng kawan-kawan Ketimbang Ngemis Jakarta. Bahkan, ke esokan harinya aku malah tidak masuk ke kantor. Flu dan demam berlanjut ke batuk. Hingga menulis ini, aku berpuasa sambil batuk-batuk kecil dan rasanya sangat tidak enak.

Walau demikian, aku sangat bersyukur sebab saat badanku sempoyongan tersebut, aku sedang tidak berpuasa. Allah SWT memberikan badanku pulih tanpa perlu merasa bersalah harus lagi-lagi membatalkan puasa. Merasa bersalah, mungkin ini dua kata yang sudah sekian lama hinggap di hati dan pikiran. Dua kata yang akan membawaku pada inti dari tulisan ini sendiri.

Benar-benar merasakan Allah SWT sebagai wali

Sekitar 30 menit sebelum menulis ini, aku kembali merasakan baper yang tidak ada tandingannya. Pernah merasakan doamu dijawab atau diberikan motivasi oleh Allah SWT tanpa pernah meminta sama sekali atau hanya membatinnya saja? Itu yang baru saja terjadi padaku dan inilah yang mendorongku menulis ini meski meniatkannya sudah beberapa hari yang lalu.

Lagi-lagi, baper itu melalui video dari ustadz panutanku, Nouman Ali Khan. Dari video sholat Jumat ini, aku sempat skeptis dengan isi ceramah beliau sebab menyinggung tentang membaca Al-Qur’an dan lainnya. Aku pasti akan merasa semakin bersalah sebab tidak konsisten. Mendengarkannya pun sempat hampir tertidur hingga pada beberapa menit akhir beliau menyinggung salah satu nama Allah SWT, yaitu Al Wali, teman pelindung.

Sontak hatiku meleleh sebab itu yang teramat sangat aku rasakan beberapa minggu terakhir. Terlalu banyak hal besar dan kecil yang Allah SWT jawab, kabulkan, dan tunda, yang kesemuanya baik buatku. Sebut saja dalam sholat tarawih semalam. Karena batuk, aku lupa membawa masker atau air minum putih. Tidak disangka ada salah satu jamaah anak kecil yang tiba-tiba menaruh air putih bentuk gelas di atas sajadahku pas aku sholat. Masya Allah.

Hal berat tentu saja terkait kesendirian ini. Masih beberapa kali aku protes ke Allah SWT tentang doa mengenai jodoh yang tidak kunjung terkabul. Beberapa hari yang lalu aku bahkan berbicara dengan-Nya dengan hati yang cukup marah. Lagi-lagi, Allah SWT selalu merespons dengan hal-hal tidak terduga. Contohnya adalah tiba-tiba membaca dengan ayat yang menyebut setiap orang tidak akan diberi cobaan melebihi kesanggupannya dan bahwa di akherat nanti tidak akan ada dizhalimi.

Allah SWT adalah wali, teman pelindung terbaik aku tetapi aku masih saja banyak mengeluh meski tahu rencana-Nya tidak pernah acak dan tanpa hikmah. Sepanjang Maret, aku merengek untuk doa tentang seseorang di kantor. Setelah dikabulkan, aku kurang sabar menunggu dikabulkannya doa yang lain dalam waktu dekat.

Benar juga kata ustadz Nouman Ali Khan, lama-lama beragama Islam hanya sebatas hubungan seorang konsumen dengan Allah SWT. Jika dikabulkan dia percaya pada Allah SWT, jika ditunda atau ditolak, hamba itu akan goyah imannya. Itu juga yang sering terjadi padaku.

Allah SWT adalah wali, sahabat pelindungku. Cara-Nya mempersiapkanku menghadapi pernikahan sungguh berbeda dari yang aku bayangkan sebelumnya. Di umur 20an, aku melihat pernikahan hanya dari kacamata yang terbatas. Celakanya, aku menyaksikannya melalui media sosial dan orang yang aku kurang mengenal dengan dekat. Sekarang, gambaran pernikahan ternyata begitu kompleks. Ada pernikahan yang bertahan demi anak, pernikahan sarat KDRT, atau pernikahan yang hambar karena kurangnya komunikasi.

Melihat diriku sekarang, rasanya masih banyak kekuranganku. Dan semunya berakar dari masih lemahnya kepercayaanku kepada-Nya. Aku yang masih belum sepenuhnya yakin akan pertolongan dan petunjuk-Nya. Bahkan jika diberi pun, aku masih menuntut lebih. Tidak mengherankan aku masih sering stres dan belum bisa menikmati hidup secara santai. Aku juga masih sulit menerima kritik dan kekurangan orang lain. Ramadan kali ini tidak direncanakan menjadi sangat reflektif. Tetapi begitulah nikmatnya hidup. Kita sibuk berencana lalu tertawa sebab rencana hanya sekadar rencana. Aku belajar sekali Ramadan ini tentang mengimani doa kita. Aku belajar dalam Ramadan ini kembali ke diri sendiri, memaafkan dan menjalani semua proses walau berat. Tetapi tiada mengapa, selama meyakini Allah SWT selalu menemani dan menolong, Ramadan ini ternyata malah memberikan kesan tersendiri karena dijalani seorang diri. Inilah cara Allah SWT agar aku benar-benar merasakan perlindungan dan cinta-Nya tanpa perantara.

Tafsir Surat At-Tur oleh Ustadz Nouman Ali Khan (Bagian III)

Janji kedua terdiri dari dua ayat. Mengapa harus dipisahkan antara buku dengan gulungan itu? Saat Allah

سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memisahkan satu pernyataan, hal itu berarti setiap bagian layak untuk diperhatikan. Janji ke-3 adalah Ka’bah, yang berarti terpenuhinya doa dari Nabi Ibrahim alaihissalam bahwa nabi terakhir segera tiba. Ini merupakan pertanda besar. Belum ada wahyu sebelum Al-Qur’an yang banyak sekali memberikan peringatan tentang Hari Pembalasan. Cerita Ka’bah sendiri merupakan kisah Al-Qur’an.

Kemudian, surat ini memberikan peringatan tentang langit. Ketika langit mulai bergetar dahsyat maka ini merupakan tanda dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tentang Hari Pembalasan. Apa yang akan terjadi pada langit saat Hari Pembalasan? Langit akan terbuka sebagaimana disebut dalam Surat Ar-Rahman ayat 37:

فَاِذَا انْشَقَّتِ السَّمَاۤءُ فَكَانَتْ وَرْدَةً كَالدِّهَانِۚ

“Maka, apabila langit terbelah lalu (warnanya) menjadi merah mawar seperti (kilauan) minyak, (terjadilah kengerian yang hebat).

Nomor 5 adalah laut

الْمَسْجُوْرِۙ

Laut yang terisi atau terbanjiri. Ini bisa jadi menandakan adanya banjir besar saat Hari Pembalasan. Tetapi,

الْمَسْجُوْرِۙ juga berarti terbakar. Dalam hal ini, janji tersebut juga berbicara tentang Hari Pembalasan. Sehingga, masuk akal kesemuanya mengarah ke ayat berikutnya (ayat ke-7):

اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌۙ

“Sungguh, azab Tuhanmu pasti terjadi.”

Pertanyaan sulitnya: Mengapa Al-Qur’an sangat fokus pada Hari Pembalasan? Bagi Muslim, ada dua jenis azab: azab untuk diriku dan untuk orang lain. Azab bagi kita dapat berarti saya orang munafik, pendosa, munafikin. Tetapi dalam surat ini, azab merujuk pada mereka yang menolak Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan menyebutnya sebagai pembohong.

Ada surat yang menakutkan bagi orang beriman sebab surat tersebut membicarakan tentang mereka. Memang benar pada beberapa level Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berbicara tentang hukuman yang sebaiknya membuat saya berpikir tentang nasib saya pada Hari Pembalasan. Itu merupakan makna sekunder.

Tetapi, makna primer di sini adalah mereka yang menolak Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ akan dihukum. Inilah masalah yang terjadi jika memikirkan orang lain. Setiap kali Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى merujuk pada yang lain, kita mengira itu ke semua non-Muslim. Tetapi, hal tersebut tidak sepenuhnya tepat. Apa alasan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berbicara tentang hukuman dan kepada siapa Dia berbicara menjadi penting saat menafsirkan ayat ini.

Pertama-tama, tidak semua orang di Bani Quraisy merupakan musuh Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Mayoritas orang diam. Orang-orang, seperti Abu Jahal dan Abu Lahab, sangat berpengaruh tetapi orang seperti ini jumlahnya sangat sedikit. Mayoritas orang hanya mengikuti mereka yang “berisik”. Tidak semua orang mengatakan bahwa Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pembohong dan sebagainya. Sehingga, mereka yang berpengaruh dan sedikit ini mencoba meyakinkan yang lain.

Saat Mekah ditaklukkan oleh Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ paska beberapa perang, seperti Badar, Uhud, Ahzab, atau Khandaq, mereka menjadi penjahat. Kemudian, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى bersabda dalam Surat At Taubah (surat penghukuman untuk Quraisy) ayat ke-6:

وَاِنْ اَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّٰهِ ثُمَّ اَبْلِغْهُ مَأْمَنَهٗ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Jika seseorang di antara orang-orang musyrik ada yang meminta pelindungan kepada engkau (Nabi Muhammad), lindungilah dia supaya dapat mendengar firman Allah kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.”

Tidak semua penduduk Mekah sama, bahkan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak membuat mereka sama, lalu bagaimana bisa Anda menganggap seluruh dunia itu sama?

Kedua, kepada siapa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berbicara tentang hukuman itu? Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berbicara kepada Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebagaimana tertuang dalam Surat At-Tur ayat ke-7 ini:  

اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌۙ

“Sungguh, azab Tuhanmu pasti terjadi.”

Siapa yang menjadi obyek pembahasan dalam ayat tersebut? Dalam ayat tersebut, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menunjuk pada mereka yang berbuat jahat ke Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Masalahnya, kita berada di belakang tim Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sehingga kita menyebut hukuman itu pasti akan terjadi pada semua non-Muslim padahal bukan begitu maksudnya.

Sebelum dan sesudah perjanjian Hudaybiah

Menurut Al-Qur’an, ada dua kemenangan: yang pertama adalah Hudaybiah. Orang sebelum dan setelah perjanjian Hudaybiah bukanlah orang yang sama. Bahkan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memisahkan keduanya. Umat Muslim awal yang telah mengorbankan banyak hal untuk Islam menempati level tertinggi dan ekspektasi terhadap mereka sangatlah besar. Mereka tidak hanya diminta untuk beribadah dan menjauhkan diri dari yang haram. Mereka harus mengorbankan segalanya demi kesetiaan kepada Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Apabila mereka harus bertarung, mereka harus berangkat. Itu baru standar minimum.

Tetapi setelah kemenangan di Hudaybiah, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى membuat standar yang jauh lebih mudah, yakni setidaknya Islam. Dan definisi Islam menurut surat Al Hujurat ayat ke-14:

قَالَتِ الۡاَعۡرَابُ اٰمَنَّا‌ ؕ قُلْ لَّمۡ تُؤۡمِنُوۡا وَلٰـكِنۡ قُوۡلُوۡۤا اَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ الۡاِيۡمَانُ فِىۡ قُلُوۡبِكُمۡ‌ ۚ وَاِنۡ تُطِيۡعُوا اللّٰهَ وَرَسُوۡلَهٗ لَا يَلِتۡكُمۡ مِّنۡ اَعۡمَالِكُمۡ شَيۡـًٔــا‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ

14. Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Kualifikasi untuk iman sulit. Kita sebaiknya tidak boleh membuat standar yang sama dengan iman sahabat. Setidaknya, ada satu kelompok dari Anda yang melakukan lebih.

Hukuman untuk diri sendiri

Akan ada orang yang sangat keras menentang agama ini. Mereka menertawakan konsep Hari Pembalasan. Orang-orang semacam itu mempunyai kriteria yang sama dengan penduduk Mekah yang demikian terhadap Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Jadi ayat ini secara khusus hanya untuk kelompok yang demikian.

Lalu, apa hubungannya ayat ini dengan saya?

Pada akhir ayat, kita harus bertanya apa petunjuk dari ayat ini untuk saya? Di sini, penting untuk diketahui bahwa petunjuk mengandung banyak kepingan dan salah satunya adalah hubungan saya dengan Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan saya harus membayangkan perjuangannya. Kita harus memahami dan menghargai apa yang beliau lewati. Menjadi seorang Muslim saat ini sangatlah gampang. Tidak demikian halnya ketika dahulu. Dan menjadi seorang nabi adalah yang terberat sebab Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ harus menanggung seluruh kebencian yang terganas sekali pun.

Tetapi, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى meminta Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tetap berdakwah pada orang yang telah menghinanya selama puluhan tahun. Tidak ada satu orang pun yang menerima cacian lebih banyak dari Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di Mekah. Banyak hal menjijikkan disebarkan tentang beliau. Namun demikian, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memuliakannya lebih dari siapapun. Memuliakan beliau berarti Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatasi musuh-musuhnya. Anda tidak akan menemukan hadist yang menunjukkan kemarahan Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada musuh-musuhnya. Beliau tidak membenci mereka setelah yang dilakukan. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sebenarnya sudah siap menghukum mereka. Sehingga, ayat di atas adalah dialog antara Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dengan Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Lalu, bagaimana dengan saya? Saya harus memahami hubungan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dengan Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Berapa harga yang beliau bayar agar saya bisa mengucapkan ayat ini. Bisa dibayangkan saat beliau mengucap ayat dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sambil merasa was-was akan dipukul.

ذَابَ (masih pada ayat ke-7) dalam Bahasa Arab berarti “air yang mendorong”, “air banjir yang mendorong”.

Kemudian,

وَاقِعٌۙ berarti “jatuh pada sesuatu”. Contohnya adalah palu yang jatuh pada sudut tertentu. Contoh tindakannya, Anda memukulkan palu untuk membuat pedang. Sesuatu berat yang jatuh, begitu artinya.

Ayat 8

مَّا لَهٗ مِنْ دَافِعٍۙ

“Tidak sesuatu pun yang dapat menolaknya”,

دَافِع

Yang berarti ketika sesuatu mendatangi Anda dan Anda mencoba mendorongnya lalu malah bergerak ke arah yang berbeda. Menurut mereka, Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ target yang gampang tetapi sesungguhnya mereka yang berada dalam masalah atau sebagai targetnya.

Saat itu, Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memang dalam kondisi lemah secara politik dan ekonomi. Mereka bisa saja memukul dan menyiksa beliau. Dan beliau tidak mempunyai kekuatan yang cukup menangkal serangan tersebut. Tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengubah sudut pandang kita tentang kenyataan. Mereka yang berdiri membeli beliau berada dalam posisi kuat tidak peduli betapa pun lemah situasi mereka. Deen ini tidak pernah lemah, yang loyo adalah manusianya alias kita.

Kata عَذَابَ merupakan kata yang menarik dan sering sekali dipakai. Arti kata dasarnya adalah “kenikmatan”. Tetapi kata عَذَابَ mempunyai arti yang berlawanan, yakni “menghilangkan seluruh kenikmatan”. عَذَابَ berarti ketiadaan seluruh kesenangan. Menarik bahwa suku Arab menggunakan ketiadaan kenikmatan sebagai siksaan. Di atas itu ada juga hukuman fisik.

Menurut saya, alasan mengapa demikian menjadi penting. Saat ini, rasa bosan menjadi salah satu perasaan yang paling mematikan bagi seseorang. Dikarenakan kita mempunyai akses terhadap hiburan sehingga kita malah sangat bosan. Sehingga, kondisi tersebut merupakan bentuk siksaan tersendiri. Depresi saat ini menduduki posisi tertinggi di dunia saat ini padahal cara untuk menghibur diri sendiri dan merasa enak juga sedang tinggi-tingginya. Belum pernah ada dalam sejarah manusia mempunyai banyak sekali cara menghibur diri seperti sekarang ini.

Tetapi, Anda bosan.

Ini juga berlaku untuk pilihan makanan. Kebosanan sebenarnya awal mula manusia mempunyai banyak pilihan, terlalu banyak waktu luang hingga malah merasa tidak ada lagi yang menarik. Beberapa orang mempunyai banyak uang sehingga bisa pergi ke banyak tempat. Setelah beberapa waktu, tempat itu hanya berupa tempat yang baru. Hal yang membuat Anda senang adalah reaksi orang terhadap pengalaman perjalanan Anda. Inilah yang disebut dengan hidup yang dikurasi dan ini menjadi sejenis siksaan tersendiri.

Sebenarnya, Islam memberikan batasan terhadap apa yang Anda konsumsi. Tujuannya adalah agar kita tidak makan terlalu banyak, boros, dan membuang-buang waktu kita. Saat Anda menetapkan batasan, lebih banyak yang akan Anda nikmati. Anda tidak akan merasa bosan. Tetapi, jika yang dimiliki terlalu banyak, Anda akan menginginkan sesuatu yang baru. Anda merasa bosan dan tetap menginginkan hal yang baru lagi.

Itulah cara setan agar Anda melepaskan diri dari kebosanan sehingga menjadi lebih gila dalam mencari cara lain untuk menghibur diri sendiri. Secara definisi, itulah ketika manusia mencoba melarikan dari عَذَابَ atau ketiadaan kenikmatan.

Anda tidak merasakan apapun maka harus melakukan sesuatu untuk merasakan sesuatu. Contohnya, anak kecil dengan orang tua super kaya yang memotong bagian tubuhnya sendiri sebab merasa hampa. Inilah siksaan yang sedang terjadi di dunia saat ini.

Ketika ayat ini turun, terdapat sebuah narasi: Seseorang datang ke Madinah untuk bertemu dengan Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ guna menegosiasikan tahanan perang yang ditangkap oleh kaum Muslim saat perang Badar. Saat aku dibawa menghadap beliau, Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang sholat Maghrib dengan para sahabat. Aku mendengar surat ini hingga ayat ke-7. Rasanya hatiku terkunci di tanah.

Dalam narasi lainnya, ia mengatakan: “Aku langsung masuk Islam sebab takut dengan hukuman yang bisa datang saat ini. Aku bahkan tidak berpikir meninggalkan tempat ini sebelum hukuman itu tiba. Aku merasakan keinginan mendesak itu.”

Ayat 9

يَّوْمَ تَمُوْرُ السَّمَاۤءُ مَوْرًاۙ

“(Azab Tuhanmu terjadi) pada hari (ketika) langit berguncang sekeras-kerasnya”.

مَوْرًاۙ

Kata tersebut berarti “agar sesuatu bisa masuk melalui cara yang agresif, memaksa, atau tidak diduga.”

Langit hanyalah ruang yang kosong. Bagaimana langit bisa bergerak? Langit hanya mengandung udara atau gas tetapi sebenarnya langit mempunyai bintang. Bintang selalu ada di tempat mereka tetapi saat Hari Pembalasan, bintang tersebut akan bergemerincing layaknya lampu hiasan dengan tempat lilin. Ini menggambarkan Hari Perhitungan dimana gempa tidak hanya terjadi di bumi tetapi juga di seluruh alam, termasuk galaksi.

Ayat 10

وَّتَسِيْرُ الْجِبَالُ سَيْرًاۗ

“dan gunung-gunung bergerak dengan dahsyat”.

سَيْرً

Berarti “berjalan mulus”. Gunung secara harfiah berpindah dari tempatnya. Seluruh bumi bergerak. Kenapa? Karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى akan membuatnya benar-benar datar. Jadi yang di Bumi berupa dataran tinggi akan menjadi datar. Bumi akan dihancurkan.

Ada kelanjutan dari ayat sebelumnya. Langit yang sama bisa jadi menjadi sumber petunjuk Anda. Gunung yang sama (Tur) dapat membuat Anda berpikir tentang wahyu dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى namun akan tiba masa pertanda tersebut akan menjadi tanda hukuman. Langit dan gunung tidak akan berada di tempatnya lagi.

Ada hubungan yang halus antara عَذَابَ bagi kaum Arab kuno yang terkait dengan dua simbol keindahan. Yang pertama adalah langit saat malam hari dan gunung. Gunung dan pohon adalah dua simbol keindahan saat siang hari sedangkan langit merupakan simbol keindahan ketika malam. Itulah mengapa Anda menemukan banyak gunung dan pohon dalam puisi mereka sebab di sana jarang sekali keduanya ditemukan. Orang Arab kuno meromantisasi dua hal tersebut. Dan sabda Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى “Kamu akan menyaksikan hal-hal yang kamu lihat sebagai simbol kebahagiaan dan keindahan tersebut runtuh.”

Ayat 11

فَوَيْلٌ يَّوْمَىِٕذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَۙ

“Maka, pada hari itu celakalah orang-orang yang mendustakan”,

فَوَيْلٌ

Menurut beberapa narasi, فَوَيْلٌ adalah tempat di neraka yang sangat menakutkan bahkan untuk neraka itu sendiri. فَوَيْلٌ juga dipakai untuk menggambarkan kemungkinan hukuman terburuk atau kutukan terparah yang bisa terjadi pada seseorang. فَوَيْلٌ bisa jadi doa buruk untuk mereka atau fakta skenario terburuk yang akan menimpa mereka pada hari itu.

مُكَذِّبِيْنَۙ

Artinya orang yang menyangkal. Ada beberapa lapisan makna di dalam kata ini. Kafir adalah orang yang juga menyangkal. Perhatikan perbedaan dua kalimat ini: seseorang sebagai pembohong dan menyebut seseorang pembohong. Siapa yang mereka anggap pembohong? Al-Qur’an, keseluruhan sejarah dan Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan mereka mengatakan ke yang lain bahwa hal tersebut hanyalah kebohongan belaka. Ada tiga tipe orang yang disebut

مُكَذِّبِيْنَۙ

  1. Mereka yang menganggap diri mereka berbohong dan mendukung kebohongan itu ke yang lain.
  2. Mereka yang menganggap diri mereka berbohong tetapi tidak membicarakan kebohongan tersebut dengan yang lain.
  3. Mereka yang sebenarnya mempercayai kebenaran tetapi mengatakan ke yang lain bahwa itu kebohongan.

Ayat 12

الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ خَوْضٍ يَّلْعَبُوْنَۘ

“(yaitu) orang-orang yang bermain dalam kebatilan (perbuatan dosa).”

Kata yang ingin saya bahas secara terperinci adalah خَوْضٍ. Inilah kondisi dimana  ada sungai yang dangkal dan Anda ingin menyeberanginya agar sampai ke sisi yang lain dengan air yang membasahi setengah badan. Berjalan dalam kondisi seperti itulah yang sebenarnya disebut dengan

خَوْضٍ.

Dan manusia melakukannya untuk satu tujuan, yakni bermain. Sehingga, kata tersebut merupakan majas atau kata kiasan yang sebenarnya berarti manusia yang sangat tertarik membahas sesuatu, seperti membenamkan diri dalam air hingga titik tertentu, lalu berjalan-jalan di sekitar air tersebut. Perumpamaan berjalan di dalam air menarik sebab saat Anda demikian, Anda tidak benar-benar bisa melihat apa yang Anda injak. Apakah batu di depan tajam atau tumpul? Anda sedang mengarah ke sisi seberang tanpa mengetahui apakah ada buaya atau tidak. Anda sedang berjalan pada wilayah yang berbahaya dan tidak mengetahui apa-apa. Saat orang menyeberang, biasanya mereka akan melakukannya cepat-cepat bukan?

Tetapi, ayat di atas membahas mengenai خَوْضٍ secara unik. Kata tersebut dipakai untuk menggambarkan percakapan yang sia-sia. Mereka yang menganggap Al-Qur’an suatu kebohongan dan menyebut Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ seorang pembohong, senang terlibat dalam percakapan yang tiada guna. Mengapa? Itulah cara mereka bermain-main. Buat mereka, hal tersebut hanya permainan. Tidak ada yang serius. Inilah diagnosis hati dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang disebutkan dalam surat ini.

Konsep permainan merupakan konsep yang berat. Bagi mayoritas orang di dunia, hidup hanya sebuah permainan. Tidak lebih dari itu. Bahkan jika Anda tidak menyukainya, Anda masih harus memainkannya. “Begitulah permainan dilakukan.” “Begitu caranya Anda memainkan permainan itu.”

Bahkan dalam industri gaming, mereka menerapkan konsep dunia terbuka. Ada satu misi sampingan yang membuat pemain bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Namun sesungguhnya, yang ada hanyalah permainan, bukanlah tujuan. Bermain menjadi tujuannya. Saat hal tersebut menjadi sangat lazim, Anda akan menemukan orang yang melakukan dan mengatakan hal-hal yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Ide tentang tanggung jawab dan konsekuensi hilang. Dunia virtual game dan konsep dunia nyata adalah permainan bercampur sehingga tidak mengherankan terjadi penembakan di sekolah. Si pelaku tidak sadar dengan alasan kenapa ia melakukannya. Akar masalahnya adalah saat manusia tidak punya alasan hidup, mereka tidak mempunyai motivasi bangun di pagi hari. Walhasil, mereka harus mengganti tujuan tersebut dengan sesuatu yang menghibur mereka. Tetapi, jika Anda mempunyai tujuan hidup, ada konsekuensi yang harus ditanggung. Tanpa tujuan hidup, Anda akan mulai menikmati pengalihan atau distraction. Hal-hal yang mengalihkan diri ini memang lebih menghibur.

Manusia mempunyai pilihan ingin menjadi relevan atau kasat mata. Saat manusia mempunyai tujuan hidup, mereka tidak mempedulikan apakah relevan di mata manusia atau tidak. Mereka tidak mempedulikan jika orang lain melihat mereka atau tidak sebab sibuk dengan visi hidup mereka. Coba kita lihat para nabi. Motivasi mereka datang dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. Tidak ada satu hari yang terbuang percuma. Contohnya adalah Nabi Nuh alaihissalam yang menjalani hidup dengan penuh manfaat.

Apa faedah agama bagi manusia? Tujuan hidup. Apakah saya melakukan kebaikan untuk diri saya sendiri atau orang lain? Itulah tujuan hidup dalam Islam. Namun, hanya karena kita muslim bukan berarti secara otomatis hidup kita mempunyai tujuan. Semakin kita kurang dekat dengan Al-Qur’an, semakin hidup kita kurang mempunyai tujuan. Apa yang terjadi jika kita menjalani hidup tanpa tujuan?

Jawabannya: momen Anda merasa berharga adalah ketika seseorang melihat itu dalam diri Anda. Jika hidup Anda sudah mempunyai tujuan, Anda tidak membutuhkan orang lain memberikan nilai hidup kepada Anda. Tujuan hidup Anda sendiri sudah memberikan nilai bagi Anda. Tetapi jika tidak, nilai Anda harus datang dari orang lain. Harus ada orang lain yang membuat Anda relevan. Jika tidak maka Anda tidak eksis. Jadi Anda akan mencari sesuatu agar relevan. Itulah akar orang ketagihan berswa foto atau membuat video diri sendiri. Mereka ingin selalu relevan sehingga terjebak dalam obsesi media sosial. Saat tidak mempunyai maksud hidup, kita akan melakukan apa saja agar tetap relevan. Hal yang paling menakutkan adalah tidak tampak dengan merasa tidak ada yang peduli.

Yang Islam tawarkan adalah tujuan hidup. Tetapi yang mereka (kaum kafir Quraisy) inginkan adalah hidup tanpa maksud. Saat manusia menghadapi dua pilihan; menjadi relevan atau tidak terlihat, kemungkinan besar kita akan memilih ingin relevan. Terkadang, kita tidak bisa relevan dengan melakukan hal yang baik saat tujuan hidup masih tidak jelas. Lalu, bagaimana caranya? Melakukan hal-hal yang di luar nalar. Bisa jadi penembak di sekolah tadi sebenarnya mencari cara agar relevan dimana orang-orang akan mengingat dirinya. Dia berpikir orang bisa membencinya tetapi mereka tidak akan melupakannya.

Setiap manusia diciptakan relevan bagi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. Begitu relevan hingga malaikat ditugaskan untuk melindungi manusia. Saat kita menerima pandangan ini maka urusan relevan atau tidak akan lenyap. Hal itu akan tergantikan dengan tujuan hidup. Tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menggambarkan mereka (kaum kafir Quraisy) yang menolak Islam berarti mereka tidak mempunyai tujuan hidup. Mereka hanya ingin bermain dalam percakapan yang beragam. Inilah kenyataan para kufar yang akan menghasilkan konsekuensi tersendiri di Hari Berikutnya.

Lalu akan datang hari dimana mereka akan menangis dan dilupakan di Hari Kemudian. Bahkan di dunia ini, terlupakan merupakan siksaan tersendiri. Inilah kehilangan kenikmatan terbesar. Kesendirian paling absolut akan terjadi di akherat. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melindungi manusia dari kesendirian melalui tujuan hidup sebagai jembatan antara manusia dengan-Nya. Subhanallah.

Ayat 13

يَوْمَ يُدَعُّوْنَ اِلٰى نَارِ جَهَنَّمَ دَعًّاۗ

“(Azab Tuhanmu terjadi) pada hari (ketika) mereka dicampakkan ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya”.

Setiap orang pasti ingin menjadi karakter utama dalam cerita mereka, bukan? Mereka ingin menjadi pahlawan dalam kisah mereka. Hanya saja, sebab mereka tidak mau mengambil tanggung jawab sebagai imbas menjadi karakter utama, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menggambarkan mereka di Hari Pembalasan sebagai orang yang tidak relevan. Mereka (kaum kafir Quraisy) didorong sangat kuat dan agresif ke neraka. Bahkan mereka tidak berkesempatan untuk bernafas. Inilah dulu api nereka yang dulu mereka sebut kebohongan. Mereka juga berpendapat pikiran dan bakat hadiah yang remeh.

Manusia merupakan makhluk yang luar biasa tetapi saat tidak memenuhi tujuan hidup mereka, mereka melakukan kejahatan terbesar di mata Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. Hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Ini diibaratkan, Anda melempar sesuatu ke dalam api tanpa mengandung maksud tertentu.

Alasan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menempatkan neraka bersandingan langsung dengan surga tidak hanya untuk menampilkan kontras di antara keduanya. Tetapi juga, hal tersebut ingin agar kita memahami apa yang menyebabkan orang-orang tertentu masuk ke dalam keduanya dan bagaimana posisi saya saat ini. Pada akhirnya, itulah yang menjadi renungan bagi kita. Walau ayat-ayat tersebut tentang orang yang kufar, bisa saja saya mengembangkan beberapa sifat mereka dalam diri saya.

Saat Dia Memaksamu Berlutut, Percayalah Itu Memang Cara Terbaik untuk Bersujud

Aku rasa tidak ada seorang pun yang akan berkata nikmat saat ditampar oleh orang lain. Sensasi berupa kaget dan sakit rasanya lebih dari cukup untuk membuat tamparan begitu menyakitkan. Hanya memang, terkadang pada titik tertentu tamparan itu perlu dan bahkan harus. 

Saat acara Qur’an Week dipromosikan di beberapa grup WA komunitas Nouman Ali Khan Indonesia, reaksi pertamaku adalah: 

“Mahal banget sih, Rp1,6 juta.” 

“Itu kan ada yang dilaksanakan pas hari kerja. Bagaimana nanti aku menembus macet?”

“Ah males kan kaki kiriku masih sakit habis terpeleset di stasiun Sudimara.” 

“Aku kan sudah berlangganan Bayyinah TV. Pasti ada dong tafsirnya di situ.” 

Selama beberapa hari aku tetap tidak bergeming. Pikiranku menang. Hatiku kalah. Urusan duniawi begitu mendominasi sehingga yang terasa adalah urusan statistik, untung atau rugi. Padahal, alhamdulillah kondisi keuanganku sekarang sangat baik. Jumlah tersebut bukan hal yang sulit untuk dikeluarkan sebab tabunganku masih banyak. 

Bandingkan dengan tiga tahun lalu saat bisa dibilang aku setengah menganggur dengan saldo tabungan yang jauh lebih sedikit. Akan tetapi, aku tidak butuh lama untuk ikut serta dalam Dream Program. 

Selain itu, Deeper Look atau kursus khusus dengan model di kelas adalah yang paling aku sukai dari Bayyinah. Sebab di situ, aku bisa belajar secara mendetail dimana ustadz Nouman Ali Khan menguliti per ayat atau per kata semampu beliau.

Ada yang salah dengan pikiranku saat itu tetapi aku mengabaikannya hingga…

Ada sebuah kejadian Selasa sore di kantor yang membuatku “bersimpuh”. Sebuah urusan pribadi, doa panjang yang aku ucapkan berulang kali selama berbulan-bulan tetapi Ia jawab bertolak belakang dengan harapanku. Beberapa hari sebelumnya, aku sudah tertampar dengan jatuh terpeleset hingga susah jalan. Dan sekarang, tamparan kedua malah terasa lebih sakit. Seketika badan menjadi dingin dan bergemetar. Bingung, stres dan kaget. 

Beruntung ada gerakan memakai masker sehingga aku tidak ragu untuk menangis saat pulang sebab tidak akan ada yang memperhatikannya. Begitu sampai di kost, grup WA Nouman Ali Khan masih mempromosikan ketersediaan tempat untuk Qur’an Week. 

Alhamdulillah, bahasa cinta-Nya menghampiriku lagi. Dari yang awalnya cuek habis malah sekarang aku yang bersemangat menghubungi salah satu relawan. Malam itu aku langsung aku mentransfer uangnya kemudian tidur.

Sejumlah rencana keuangan demi membeli rumah aku tutup dengan kalimat dalam hati:

“Ya Allah SWT. Aku ingin mencari ketenangan dan kesembuhan dari sakit di hati ini. Aku yakin tidak ada tempat dan cara terbaik selain menyelami cinta-Mu yang ada dalam Al-Qur’an.”

Allah SWT selalu sempurna waktunya. Mungkin jika bukan karena pengalaman buruk di atas aku tidak akan merasakan adrenalin membuncah, perasaan bahagia dan semangat tinggi menaiki ojek online dari stasiun Palmerah menuju aula Buya Hamka, Universitas Al Azhar. Aku merasakan hal tersebut beberapa kali dan takjub dengan sensasi itu sendiri. Rindu sekali menikmati hal tersebut sebab sudah lama hati ini tidak girang lantaran menemukan “mainan” baru yang akan membuatku penasaran sekaligus senang.

Aku selalu menyebut “mainan” lantaran hal yang membuatku penasaran tersebut membuatku kembali menjadi anak kecil polos yang senang mempelajari hal-hal baru. Dulu aku pernah merasakannya dengan Juventus, Westlife, novel, Ketimbang Ngemis Jakarta dan XXX. Tiada mengira rasa itu datang dari Al-Qur’an.

Pun saat pulang. Menaiki ojek online saat udara Jakarta yang dingin terutama setelah hujan semakin menentramkan hati yang pulang sudah dengan rasa positif. Aku masih ingat ustadz Nouman mengatakan Allah SWT mengibaratkan Al-Qur’an seperti air yang membasuhi hati siapa saja. Seperti itulah. Hati yang tadinya gersang menjadi hidup dan semakin deras merasakan air dari Al-Qur’an saat perjalanan pulang.

Mengikuti Qur’an Week menjadi cara Allah SWT menunjukkan keajaiban yang berkat campur tangan-Nya aku melampaui batas yang aku tidak mengira sanggup melakukannya.

Yang tadinya ragu-ragu malah pada hari ke-3 dan ke-4, aku menjadi tidak sabar menunggu jam pulang kantor tiba. Senang sekali malam mau belajar bersama rekan sesama muslim. Pernah pada hari ke-5 kalau tidak salah, hujan lebat mengguyur sekitar Ciputat, kantorku berada. Tadinya agak bimbang berangkat ke Al-Azhar tetapi alhamdulillah mendadak hujan tinggal gerimis saja dan tetap tidak telat sampai di aula.

Keajaiban lainnya adalah aku bisa mempertahankan fokus sepanjang kursus ini. Pernah beberapa kali mengantuk, terutama pada hari terakhir, namun Allah SWT membantuku untuk bisa kembali fokus. Terkadang aku makan permen,minum kopi, atau mengajak ngobrol mbak kenalan di sebelah. Padahal biasanya aku akan rebahan dan bahkan tertidur tidak lama setelah mendengarkan pelajaran melalui aplikasi Bayyinah. Ternyata memang beda belajar online sendiri dengan belajar offline dari gurunya langsung bersama banyak teman. Ada energi yang entah bisa membuatku betah dan bahkan merasa kurang meski hampir tiga jam berlalu.

Berikutnya, Allah SWT tahu benar aku saat ini sangat butuh istirahat dari media sosial, terutama Instagram. Siapa sangka di ruangan ini penyedia layanan XL tidak menemukan sinyal. Antara kesal sekaligus senang. Mungkin ini cara Allah SWT agar aku bisa benar-benar fokus. Ahamdulillah, saat belajar, aku tidak bisa memakai Internet sehingga otak bisa merekam dengan optimal. Beda cerita jika aku bisa mengakses Internet dimana otak akan teralihkan ke hal-hal yang mungkin kurang berfaedah.

Lelah namun sangat bahagia

Mengikuti Qur’an Week usai bekerja bukan hal yang gampang. Jujur sangat melelahkan, terutama jika harus menembus macet. Sekali lagi, aku takjub dengan cara Allah SWT membuatku bersemangat sehingga rasa lelah tersebut malah menjadi tantangan tersendiri.

Belum lagi, belajar Qur’an Week berupa tafsir dan tadabbur surat At-Tur bukan hal yang gampang juga. Ini terutama bagiku yang belum bisa bahasa Arab. Sungguh keren banyak peserta yang Masya Allah sangat giat belajar. Mereka membawa segala catatan, laptop, Al-Qur’an dan bahkan banyak yang memang sudah bisa berbahasa Arab.

Sering dalam hati aku bilang, “Kita mah apa atuh, En,hehe.”

Tetapi aku sering mengingat niat mengikuti program ini. Setelah hampir tiga tahun “lengah”, aku sering bilang ke diriku sendiri bahwa Qur’an Week adalah cara Allah SWT mengajakku kembali ke jalan yang seharusnya setelah cukup lama aku tersesat.

“Terima kasih ya, En, sudah datang hari ini sampai selesai.” Aku sering mengatakan demikian agar tidak terlalu memaksakan diri mencerna banyak hal. Setiap orang kembali ke Allah SWT melalui caranya masing-masing.

“Aku ke sini buat dibawa santai mbak. Buat senang, buat have fun,” kataku ke salah satu mbak kenalan di acara ini.

Tafsir surat At Tur,surat ke-52 dengan 49 ayat, berlangsung selama sekitar dua jam. Terbagi ke dalam dua sesi, ustadz Nouman menjelaskan per ayat secara detail. Bahkan ada beberapa kata yang beliau bahas dengan panjang lebar, baik secara harfiah hingga relasinya dengan masa kini.

Sesi terakhir cukup singkat, sekitar 15 menit yang diisi oleh Syekh Sohaib Saeed. Beliau membahas cara tadabbur menggunakan lima lensa. Meski singkat, ceramah beliau tidak kalah bagus dan beratnya,hehe.

Aku juga takjub kelas hampir selalu penuh dan semua antusias mendengarkan dari awal hingga akhir. Layanan dari panitia juga sangat bagus hingga kami diperbolehkan berfoto bersama di akhir program. Terima kasih buat beberapa orang yang berbaik hati memberikan makanan dan minuman enak selama acara gratis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan bapak dan ibu sekalian berlipat ganda.

Qur’an Week telah usai. Antara senang dan sedih. Sedih berpisah dengan kursus yang begitu mengubah hidupku. Senang sebab kembali bisa menikmati tidur yang cukup sebab jujur saja pada hari terakhir kaki kiri mulai kumat lagi karena kurang istirahat.

Harapanku semoga setelah tamparan ke sekian kalinya ini aku istiqomah belajar Al-Qur’an dan mudah-mudahan berkesempatan mendatangi Qur’an Week bersama ustadz Nouman dan Syekh Sohaib tahun depan, amiin ya robbal’alamiin.

Islam, the Religion of Nature

Picture by Eny Wulandari

Alongside ustadz Nouman Ali Khan, Syekh Abdal Hakim Murad is my second spiritual teacher though via online only. The title of this post was taken from one of his sermons (of which I am sorry to say that I forget the title). May Allah SWT increase both of them in wisdom, health, and knowledge so that they will teach me more.

I was gazing at a half-round of tall trees whose names remain unknown to me. I guess they belong to the palm family as viewed from the heights and the shapes of the leaves. They are spiky and lengthy while the stems are quite trim and sturdy. Each of the trees isn’t shady but when put together, they released fresh oxygen and put my mind at ease on Sunday morning, 16 October 2011. I found it a bit surreal that I was standing just a few meters from the uproarious vibe of the 9th Jakarta Marathon 2022. For in that some minutes, my lungs expanded, my brain was clearer, and I felt at peace despite walking some kilometers prior to the halt.

Indeed, looking at trees, flowers, shrubs, and grasses at the Gelora Bung Karno sports complex always entices my feeling every time weekend arrives. Most visitors will spend time and focus to exercise but that’s not actually my purpose. Given my current body weight (don’t ask how many kgs, please), I find it a bit hard to run like I used to do. So, I prefer to jog and walk quickly to avoid possible injuries when forcing myself to run fast.

As of lately, my favorite activity is simply embracing what the complex as green space has to offer. Living in big cities, like Jakarta, is getting tiresome in terms of air condition. Not only it gets hotter but also it becomes more polluted. Most of the residents spend days turning on ACs and/or fans.  I am part of them. Inspired by Hakim Archuletta, that’s not the natural way of inhaling and exhaling.

I often read some ayah in the holy Al-Qur’an on nature that constantly praises His words, that their existence proves His bounty and mercy. Thanks to my favorite influencers, Sarina Iskandar and Aida Azlin, I have come to materialize the ayah every time I come to the sports complex.

As my eyes look at the tall trees and wildflowers, I am reminded of His power to create such natural refreshment. How their existences relieve my tired heart and rejuvenate my spirit.

The following is the ayah:

تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتُ ٱلسَّبْعُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِۦ وَلَـٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًۭا ٤٤

The seven heavens, the earth, and all those in them glorify Him. There is not a single thing that does not glorify His praises—but you ˹simply˺ cannot comprehend their glorification. He is indeed Most Forbearing, All-Forgiving. (Al-Isra ayah 44)

The question is how do trees, flowers, shrubs, and grasses glorify Allah Subhanahu wa Ta’ala?

My interpretation is by examining one plant. For example, golden photos. At the sports complex, there are some giant golden photos that draw my attention every time I pass them by. And I will stop for a while to simply adore the size. I am especially fond of this plant and I have one in my rented room in Palmerah. But this one stands out because of the huge size. It humbles my heart to realize the only one who can create this variant is Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Being in several parks inside the complex later invites me to experience another spiritual moment that is quite surprising. While spending some minutes at one of the parks, my ears can listen to the sounds of animals (I am not quite sure what they are). Their sounds are clearly heard. I am not really into animals by the way. But their voices somehow gladden my heart.

With the plants and animals coexisting, my body will shiver because of the cool wind. This one is very uncommon for me who has to turn on the fan and AC to reduce temperature. At least once per week, I can taste the natural way of feeling the coolness of nature. And all of those are made possible only because of His kindness, ar Rahman and ar Rahim.

I used to enjoy nature shortly. I took deep breaths and loved the scenery. But after I regularly practice a deep look at it, I have learned to appreciate His creation. Truly, it does feel different and better to experience His ayah through my very eyes and while so doing, my mouth also utters Alhamdulillah and Masya Allah.

Meraih status tertinggi sebagai budak Allah SWT

Hingga sekarang, rasanya tidak terima ustadz Nouman Ali Khan acapkali memakai istilah budak, bukan hamba, dalam khutbah beliau. Masih ada rasa ego yang belum seutuhnya runtuh menerima kenyataan bahwa setiap muslim adalah budak-Nya. Istilah penghambaan memang benar tetapi budak lebih tepat dengan merujuk pada tafsir surat Al-Fatihah.

“Kita gampang sekali mengakui bahwa Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi. Tetapi menerima bahwa Dia adalah Tuan kita? Hmm.. tunggu dulu.”  

Begitu ujar beliau dalam video berjudul “Master and Slaves” yang bisa ditemukan di kanal YouTube Bayyinah Institute. Dua kali tertampar menyimak video yang disajikan secara santai ini. Seperti biasa, beliau menghadirkan tema berat melalui cara yang sangat mengena dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ide awal konten ini adalah ada seseorang yang mempertanyakan nasib doanya yang belum juga terkabul meski bertahun-tahun ia meminta hal yang sama. Video ini teramat sangat mewakili perasaanku saat ini sebab aku mempunyai doa yang sampai sekarang belum terwujud. Di momen seperti ini, aku “berhak” mempertanyakan dimana letak keadilan dari Yang Maha Adil bukan? *astaghfirullahaladzim*

Budak yang salah

Setelah aku menelaah jalan hidupku sampai sekarang, pertanyaan keadilan di atas adalah jalan Allah SWT untuk mengakui aku pernah lama menjadi budak yang salah. Bagi yang sudah lama mengenalku, aku pernah bangga menjadi seorang Juventini, fans Alessandro Del Piero, hingga Westlife. Aku bukan tipe fans yang biasa saja. Pernah habis jutaan rupiah untuk nonton Juventus hingga ke Sydney untuk Alessandro Del Piero.

Aku pernah menjadi budak untuk mereka. Tetapi aku tidak malu sebab melalui itu semua aku benar-benar paham budak yang salah itu berbahaya. Budak yang salah di sini dalam artian tidak mempunyai rem. Contohnya ya aku yang gampang sekali suasana hati rusak lantaran Juventus kalah. Dulu kondisi ini bisa berlangsung berhari-hari. Hal yang seharusnya tidak aku lakukan.

Atas nama cinta, budak seperti aku tidak sadar ada yang tidak beres. Pengorbanan yang tidak sepantasnya dilakukan. Aku juga pernah menjadi budak cinta untuk beberapa cowok di masa lalu. Kesalahan yang tidak semestinya dilakukan tetapi setiap manusia mempunyai jalan hidup unik untuk kembali kepada-Nya.

Bukan sembarang Tuan dan pastinya bukan budak biasa

Pertama kali mendengar kata budak, yang terlintas adalah nenek moyang kita yang menjadi budak penjajah. Tubuh kurus kering yang dipaksa bekerja rodi. Atau budak asal Afrika yang dibawa ka Eropa atau benua Amerika seperti terlintas saat belajar sejarah waktu kuliah.

Di mataku, dan terlebih di mata manusia modern seperti sekarang, status budak adalah status terendah dan hina. Tidak punya martabat dan kekuasaan. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Tidak ada yang mau menjadi budak atas manusia lain.

TETAPI…

Allah SWT adalah Tuan yang di luar logika. Kebaikan dan kasih sayangnya tidak masuk ke dalam nalar kita sebagai manusia yang serba berhitung. Ia terus memberi, bahkan saat kita malas menyembah atau mensyukuri karunia-Nya. Ia mengampuni dosa da kesalahan kita, bahkan saat kita tidak sadar telah berbuat keburukan. Yang menjamin rezeki kita meski kita sedang malas berusaha. Yang menghadirkan begitu banyak orang padahal kita belum tentu baik ke sesama.

SEHINGGA…

Menjadi muslim bukanlah budak yang biasa. Sebuah status budak yang tidak ternilai harganya. Terlebih jika kita taat karena kita mempercayai-Nya. Terutama jika tiada keraguan bahwa keputusan-Nya adalah karena Dia menyayangi kita. Toh, segala aturan dari-Nya adalah untuk kebaikan diri kita sendiri. Karena tentu saja, sebagai Sang Pencipta, hanya Allah SWT yang paling mengetahui kelemahan dan kelebihan manusia. Dia tahu jika kita tidak mengendalikan ego dan nafsu, kita yang menuai akibatnya sendiri.

Ada dari kita menjadi budak yang salah, entah sadar atau tidak

Mulai dari media sosial hingga makan berlebih, ada dari kita yang menjadi budak yang salah. Termasuk aku sendiri yang masih menjadi budak atas nafsu yang menjadi sumber kelemahanku saat ini.

Sehingga, istilah budak di masa modern sebenarnya tetap ada, hanya bentuknya tidak lagi kerja rodi seperti zaman penjajahan. Orang yang terobsesi ingin langsing hingga mengabaikan kesehatan adalah budak yang salah. Mereka yang terus bekerja hingga melupakan pentingnya istirahat adalah contoh budak yang juga salah. Dan mereka yang hidupnya hanya untuk pasangan sampai lupa mencintai teman dan anggota keluarga yang lain juga kurang baik.

Sumber hidup penuh letupan semangat adalah cinta. Cukup pastikan asal dan muara cinta kita yang pertama dan utama adalah Allah SWT. Jika sudah demikian, cinta ke yang lain akan berjalan indah tanpa membuat kita menjadi budak yang salah.