بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Ayat 13
يَوْمَ يُدَعُّوْنَ اِلٰى نَارِ جَهَنَّمَ دَعًّاۗ
“(Azab Tuhanmu terjadi) pada hari (ketika) mereka dicampakkan ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya.”
Neraka bukan hanya bisa dilihat tetapi juga bisa dirasakan, didengar dan diketahui baunya. Mereka bisa merasakan intensitas dan ingin keluar dari neraka tetapi mereka didorong kembali. Mereka bisa merasakan panasnya neraka, mendengar teriakan dan tangisan di dalamnya. Hal menakutkan tentang neraka adalah neraka akan melihat ke mereka juga. Salah satu nama neraka adalah jahim dan jahim sebenarnya berasal dari kata jafur yang berarti “tatapan seekor singa.” Neraka lapar dengan mereka sedangkan mereka tanpa kekuatan. Inilah visual yang kuat dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.
Seluruh dunia bergerak seperti pergerakan debu. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menggambarkan seluruh dunia yang sangat besar bergoyang. Saat kita menonton dokumenter tentang kosmos, kita merasakan betapa kecilnya kita. Pendapat umum kaum ateis adalah dunia sangat besar dan kita tidak akan penting artinya. Anda akan dihakimi dan menjadi pusat perhatian bagi seluruh dunia.
Anda merasa tidak sepenting itu sebab penganut pandangan ilmiah tadi menyebut bahwa dunia begitu besar sedangkan Anda merasa kecil. Ini memunculkan keyakinan tidak ada penciptanya. Pandangan ilmiah tersebut mengandung konsekuensi. Sebab tidak ada pencipta di dunia yang sangat luas ini, aku sangatlah kecil dan tidak penting. Sebab jika aku merasa diri tidak penting maka setiap hal yang aku lakukan berarti tidak begitu penting. Aku jadi bisa melakukan hal yang aku mau. Setelah aku tiada, aku akan menjadi benda mati. Jadi, aku bisa bermain-main atau فِيْ خَوْضٍ يَّلْعَبُوْنَۘ
Bumi akan diratakan untuk menjadi pengadilan pada Hari Perhitungan manusia. Poin yang dibahas pada pertemuan sebelumnya adalah manusia sangat sibuk agar dirinya tampak relevan bagi manusia lainnya. Tetapi, setiap perbuatan relevan bagi malaikat yang mencatat segala perbuatan kita. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menugaskan dua malaikat untuk mendokumentasikan apa yang aku lakukan. Yang aku lakukan penting sehingga menjadi catatan yang kuat pula. Dan catatan ini tidak dibuat tanpa alasan melainkan menjadi rekaman atas perbuatan kita.
Dunia mulai runtuh agar kita bisa diadili. Perbedaan ini bisa dilihat lebih lanjut pada surat Ar-Rahman. Faktanya, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menciptakan dunia ini dalam keseimbangan dan keteraturan. Dalam surat Ar-Rahman ayat ke-8:
اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ
“Agar kamu tidak melampaui batas timbangan itu.”
Matahari berada pada jarak yang tepat dari Bumi dan tidak bergerak dari tempatnya. Jika matahari bergerak sedikit saja, kekacauan absolut akan terjadi. Tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menjaga segalanya seimbang dan merawatnya seperti yang Dia inginkan. Intinya, Bumi dalam keseimbangan, oksigen dalam atmosfer juga demikian, begitu pula dengan daun yang tumbuh pada pohon dan tubuh manusia. Tetapi, tidak dengan perilaku manusia yang tidak seimbang.
Satu-satunya yang kacau adalah manusia. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memberikan cara agar seimbang tetapi manusia mengacaukan keseimbangan tersebut. Dunia seimbang dan yang tidak seimbang adalah manusia, kita. Lalu akan datang hari dimana segala sesuatu menemukan keseimbangannya. Dunia akan kehilangan keseimbangannya, runtuh, dan pada hari itulah saya dan Anda akan diadili. Keruntuhan selesai dan kita akan “diseimbangkan.” Selama dunia diberikan keseimbangan, kami diberikan waktu untuk membuat hidup teratur.
Seketika, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berpindah ke ayat nomor 14:
هٰذِهِ النَّارُ الَّتِيْ كُنْتُمْ بِهَا تُكَذِّبُوْنَ
“(Dikatakan kepada mereka), “Inilah neraka yang dahulu kamu dustakan.”
Perhatikan kata pada ayat ke-13: “didorong (dicampakkan)” dan saat sampai ke sana, ia menemukan tujuannya. Inilah kiasan bahwa engkau telah sampai pada tujuannya. Inilah api neraka yang dulu kamu pikir bohong dan kamu buat sebagai bahan candaan.
Frase yang kita perhatikan juga adalah “yang dulu kamu sebut kebohongan.” Pada ayat ke-13, “mereka” tetapi pada ayat ke-14 “kamu”. Pada ayat ke-13, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berbicara tentang mereka yang tidak beriman pada hari tersebut tetapi pada ayat selanjutnya, Dia membawa kita ke Hari Perhitungan dan ingin agar kita membayangkan percakapan malaikat yang seolah-olah berbicara ke audiens. Inilah yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى lakukan dalam Al-Qur’an, seperti perjalanan waktu. Ini bisa dilihat dari orang ketiga ke orang kedua, dari “mereka” ke “kamu.” Sehingga, peristiwa dalam Al-Qur’an menjadi sangat dekat dengan diriku sekarang dari yang berbicara tentang masa depan tetapi terasa seperti sekarang pembicaraannya. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى membuat masa depan terasa seperti sekarang. Kita seperti diajak ke adegan tersebut dan kita berada di dalam peristiwa itu.
Gaya bahasa sarkasme yang mereka gunakan kini dipakai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. “Ingat kan ini api yang dahulu (kalian dustakan)?” lalu mereka didorong ke dalam api neraka. Fakta lainnya, api neraka yang dianggap jauh sebenarnya dekat. Mereka yang senang menghibur diri sendiri atau melibatkan diri dalam percakapan yang kurang bermanfaat mengatakan, “Aku ingin hidup saat ini.” Seakan-akan masa depan itu masih jauh sekali.
Tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan, “Sebenarnya, apa yang kamu anggap jauh sekali selalu merupakan kenyataan yang tetap. Ia selalu ada.” Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak hanya akan menciptakan Jannah dan Jahanam suatu hari nanti melainkan keduanya sudah ada. Kita saja yang belum melihatnya. Mereka menyangkal tentang api neraka. Sebenarnya, yang disangkal adalah tanggung jawab. Saat kita menyangkal tanggung jawab kita, hal tersebut berarti kita mengacuhkan awal penciptaan kita. Sehingga, yang kita bicarakan di sini adalah akibat menyangkal tanggung jawab yang seharusnya kita lakukan.
Ayat 15
اَفَسِحْرٌ هٰذَآ اَمْ اَنْتُمْ لَا تُبْصِرُوْنَ
“Apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat?”
Saat mereka didorong ke dalam api neraka, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menambahkan, “Jadi, ini sihir kan?” Kata “jadi” di sini penting dalam Bahasa Arab sebab melanjutkan ayat berikutnya atau ayat ke-14.
“Sihir” merujuk pada Al-Qur’an. Dulu mereka mengatakan bahwa meski Al-Qur’an turun dari langit dalam bentuk kertas, mereka akan menyentuhnya lalu menyebutnya sebagai sihir. Hal ini juga menimpa pada nabi sebelumnya. Mereka mengatakan, “Kami akan percaya apa yang kami lihat. Bahkan jika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menunjukkan ke mereka, tetap saja mereka akan menyebutnya sebagai sihir.
Keinginan untuk melihat sesuatu tercermin dalam Surat Al-Isra (surat ke-17) mulai dari ayat ke-89 hingga ke-93. Dalam ayat tersebut, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah memberikan berbagai macam cara agar mereka memahami pesan-Nya tetapi orang-orang tersebut hanya ingin mempercayai yang ingin mereka yakini. Mereka menolak semua perumpamaan dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. Mereka malah menanggapi dengan perumpamaan yang mereka buat sendiri.
وَقَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْاَرْضِ يَنْۢبُوْعًاۙ
“Mereka berkata, “Kami tidak akan percaya kepadamu (Nabi Muhammad) sebelum engkau membuat mata air yang memancar dari bumi untuk kami,” (Al-Isra ayat 90).
Hingga ayat ke-93, mereka menginginkan pratinjau seperti apa Jannah itu. Mereka tidak akan percaya hingga Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membawa turun Al-Qur’an dari surga yang bisa mereka baca sendiri. “Katakan seberapa sempurna Rabb aku.” Mereka yang berhak bertanya ataukah Rabb mereka yang seharusnya lebih berhak bertanya? Apakah Rabb mereka harus memenuhi perintah mereka?
Keseluruhan perjalanan manusia dimulai ketika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menanyakan satu hal: “Bukankah Aku Rabb kamu? Ya, tentu saja.” Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى adalah yang bertanya. Sekarang, kamu ingin agar Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengesankan dirimu agar kamu mau berserah diri? Ide semacam ini menunjukkan keangkuhan. Bukan berarti kamu tidak merasa teryakinkan tetapi sesungguhnya kamu berpikir kamulah yang mengatur kenyataan.
Kemudian, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan bahkan jika diberikan yang mereka minta, tetap saja mereka akan mengatakan sihir. Sarkasme dikembalikan ke mereka sebab merekalah yang pertama kali memulainya. Dahulu mereka buta akan peringatan tersebut dan tidak mau melihat kenyataan. Sekarang, apakah mereka masih berbohong atau sudahkah melihat dengan jelas? Itulah pendapat dari mufassirun tentang ayat ini.
Ayat 16
اِصْلَوْهَا فَاصْبِرُوْٓا اَوْ لَا تَصْبِرُوْاۚ سَوَاۤءٌ عَلَيْكُمْۗ اِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Masuklah ke dalamnya (dan rasakan panas apinya)! Baik kamu bersabar atau tidak, sama saja (tidak ada manfaatnya) bagimu. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.”
Kata اِصْلَوْهَا sulit untuk diterjemahkan dalam Bahasa Inggris yang gampang. Kata
صْلَوْ, merupakan kata kerja yang dipakai ketika Anda mengambil benda yang kuat, seperti logam, lalu Anda masukkan ke api untuk sedikit membengkokkannya. Saat sesuatu itu keras dan Anda ingin melenturkannya dengan menaruhnya ke api maka kata salim yang dipilih.
صْلَوْ berarti “menaruhnya ke dalam api untuk melembutkannya.“ اِصْلَوْهَا berarti “Anda dilemparkan ke dalam api seolah-olah untuk melembutkan Anda.”
فَاصْبِرُوْٓا اَوْ لَا تَصْبِرُوْ
Sabar berarti aku bisa menahan sakitnya. Tetapi dalam ayat tersebut, Anda tidak bisa bersabar sebab tidak akan mengubah apapun. Di surat lain dalam Al-Qur’an, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan hal paling mengerikan tentang Jahanam. Dia menyebut betapa mengagumkannya sabar mereka sehingga mereka harus berurusan dengan api neraka. Ini menunjukkan kekaguman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى atas kerasnya sikap mereka. Dalam surat lainnya, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan bahwa tidak akan ada perubahan apakah Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memperingatkan mereka atau tidak. Bahkan mereka pun mengakui hal tersebut.
Sabar merupakan salah satu kata terindah dalam Al-Qur’an serta salah satu sifat yang paling menguntungkan dari orang yang beriman. Misalnya, sabar memberikanku kekuatan. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan jika Anda bisa bersabar dan bertakwa berarti Anda mencapai hal terhebat. Sabar berarti pula akan berhasil. Pertolongan dari malaikat akan datang jika Anda bersabar.
Bersabarlah, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak akan menyia-nyiakan pahala untuk mereka dengan ihsan. Sabar adalah bentuk ihsan atau melakukan yang terbaik yang bisa Anda lakukan.
Contoh sabar di dunia adalah pria atau wanita muda yang belum bisa atau belum mempunyai kecukupan untuk menikah, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan agar mereka bersabar daripada menikahi calon dengan karakter yang kurang baik. Sabar akan mengantarkan ke hal yang lebih besar. Dan tentu saja, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى bersama dengan mereka yang sabar. Sabar sendiri merupakan puncak dari surat Al-‘Ashr. Kini, kata yang sama, sabar, digunakan untuk orang di dalam neraka.
Sabar mempunyai nilai di hidup ini. Segala sesuatu yang bernilai saat ini tidak demikian di Hari Kemudian. Tobat pun demikian. Ia bernilai di dunia ini tetapi tidak saat Hari Perhitungan. Meyakini Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى di dunia ini mempunyai nilai tetapi tidak ketika Hari Pembalasan tiba. Meminta kesempatan kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mempunyai arti namun tidak saat Hari Perhitungan. Kemakmuran mempunyai nilai di kehidupan sekarang tetapi tidak pada Hari Pembalasan. Sehingga, sabar mempunyai banyak arti dalam kehidupan di dunia ini. Jika Anda tidak bisa bersabar dalam hidup ini, silahkan bersabar dalam kehidupan berikutnya. Terakhir,
اِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Sesungguhnya, kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.”
Penggalan yang kuat dari keseluruhan ayat ini. Inilah yang sesungguhnya kamu terima atas tindakan yang kamu lakukan di dunia. Dengan kata lain, kamu menerima balasan atas apa yang telah dilakukan. Sebab di dunia kamu hanya bermain-main maka balasannya adalah api neraka. Dalam surat lainnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut: “Inilah harta karun yang kamu kumpulkan sendiri.” Ini bentuk pernyataan yang sarkas (menyindir). Contoh lainnya, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan tentang mereka yang mencuri harta dari anak yatim. “Mereka sebenarnya hanya menaruh api dalam perut mereka.” (Surat An-Nisa ayat 10).
Di sini, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mendefinisikan ulang hal di dunia memakai standar akherat. Sebagai ilustrasi, saat kita hendak terbang. Ketika di bandara, ada mesin X-ray untuk melihat kondisi di dalam tas bagasi, bahkan isi laptop. Petugas bisa mengetahui kotornya tas dan sebagainya. Yang terlihat di luar adalah bersenda gurau tetapi kondisi di dalamnya, mereka yang demikian sebenarnya sedang menuju api neraka. Mereka menerima balasan sesuai perbuatan mereka. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak menghukum lebih atau kurang dari yang mereka perbuat. Hukuman benar-benar sesuai dengan perbuatan mereka di dunia.
Pada zaman modern seperti sekarang, ada pertanyaan yang muncul seperti ini: “Aku hanya melalui dosa segini lalu mengapa aku dihukum dengan diberikan api neraka? Jika kejahatanku hanya lima menit, seharusnya hukumanku juga lima menit. Rasanya tidak adil aku harus tinggal di neraka selamanya.
Kita mengaitkan nilai di dunia ini seharusnya sama dengan nilai di Hari Kemudian. Ambil contoh, kata لآإِلَهَ إِلاَّ الله, sangat berharga di Hari Kemudian padahal untuk mengucapkannya sangat mudah. Mendeklamasikan Al-Qur’an tidak membutuhkan upaya yang besar tetapi sangat berarti di Hari Kemudian. Menolong orang tanpa diketahui yang lain mungkin di dunia ini terkesan kecil. Begitu pula senyum kepada sesama. Tetapi perbuatan baik tersebut akan dilipatgandakan di Hari Kemudian. Kesimpulannya, sistem nilai di dunia ini tidak bisa dibandingkan dengan sistem nilai pada Hari Kemudian.
Al-Qur’an hadir untuk memberikan nilai baru berdasarkan sistem di Hari Kemudian, bukan di dunia ini. Mari beralih fokus ke nilai perbuatan buruk. Misalnya, mengatakan perkataan buruk ke orang lain, sebagaimana disinggung dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 12. Jika ada seseorang yang masih menganggap hukuman seumur hidup di neraka tidak adil berarti dirinya berupaya menerapkan sistem nilai keadilan di dunia ini dengan sistem di Hari Kemudian. Mari bersyukur Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak melakukan hal tersebut sebab jika iya, tidak akan ada satupun dari kita yang berhak mewarisi Jannah. Sebab, satu-satunya alasan kita bisa ke surga adalah karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melipatgandakan siapa yang Dia kehendaki.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melipatgandakan perbuatan baik tetapi tidak demikian untuk perbuatan buruk. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memberi balasan buruk sesuai perbuatan hamba-Nya yang melakukannya. Sekarang bayangkan, jika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut hukuman ini berlaku selamanya, betapa besarnya perbuatan jahat di mata Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى? Mungkin saja, masalahnya adalah hal yang menurut Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sangat besar tetapi tidak demikian bagiku. Ambil contoh, seorang penjahat psikopat yang menikmati membunuh orang. Di benak mereka, perbuatan mereka bukanlah hal yang salah tetapi kita menganggap mereka orang yang sakit jiwa.
Sekarang, mari terapkan hal yang sama. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah memberikan kita standar nilai suatu perbuatan yang layak dihukum api neraka. Aku sebenarnya tidak mengetahui arti sesungguhnya dari tindakanku. Hanya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang tahu maknanya. Dan bukanlah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang Maha Adil dan Maha Bijak?
Ayat 17
اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّنَعِيْمٍۙ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan.”
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menggambarkan Jannah di sini seperti dalam surat Adz-Zariyat. Dalam surat Adz-Zariyat, Dia mengatakan:
اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّعُيُوْنٍۙ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air,” (ayat 15)
Ingat kata, “taman” dan “mata air.” Surat Adz-Zariyat dimulai dengan hal visual: angin, awan, gelombang. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memulai surat ini dengan hal yang bersifat visual. Sedangkan dalam surat At-Tur, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut anugerah wahyu atau kenikmatan spiritual.
Hal yang pertama disebut di sini adalah muttaqin akan berada di surga. Ini bisa berarti dua hal: mereka berada di surga sebab muttaqin. Tetapi, sebagaimana yang kita lihat berikutnya, bukan itulah yang sebenarnya dimaksud. Mereka berada di surga bukan hanya karena muttaqin. Kita acapkali berbicara tentang taqwa tetapi tidak benar-benar menyinggung bagaimana bisa memperoleh taqwa. Benar-benar sadar akan adanya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dilakukan menurut situasinya. Taqwa saat berada dalam pesta berbeda dengan taqwa ketika di kantor. Beda pula ketika Anda seorang diri. Contoh taqwa misalnya Anda ingin mencemooh seseorang tetapi urung melakukannya. Taqwa berarti “apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى inginkan dariku dalam situasi saat ini?”
Salah satu isyarat taqwa dalam Al-Qur’an sungguhlah menarik yakni taqwa menjadi hal tersulit saat kita berada dalam situasi yang berat. Di situlah dimana “apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى inginkan dariku saat ini” menghilang. Pada saat itu, pilihan “apa yang hatiku inginkan saat ini” mengambil alih kendali. Muttaqin adalah mereka yang menyadari adanya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dan melindungi diri mereka sendiri dari emosi mereka. Itulah orang-orang yang sukses.
Dalam surat Al-Furqan ayat ke-43, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mewanti-wanti bahaya mengikuti perasaan, yang bahkan disebut sebagai Tuhan yang salah.
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Pernahkah kamu melihat orang yang mengambil ‘huwa’ (keinginan) sebagai Tuhannya. Maka, maukah kamu menjadi wakil dari orang itu?” (Surat Al-Furqan ayat ke-43).
Saat ini, perasaan seperti Tuhan. Perasaanku, kebenaranku. Ada banyak slogan “ikuti kata hatimu” sekarang ini yang berarti patuhi apa yang dirasakan. Dengan kata lain, berserah pada emosi.
Islam tidak menampik emosi tetapi membantu menavigasi emosi kita. Akan tetapi, pada beberapa grup, mereka menampilkan ide bahwa kita sebaiknya tidak mempunyai perasaan. Bukan hal yang Islam untuk mempunyai perasaan. Kita harus puas dengan ketentuan dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. Jika kamu tidak puas, kamu tidak mempunyai cukup iman dan tawakul. Coba kita lihat kisah Yaqub عَلَيْهِ السَّلَامِ. Kelompok ini menolak perasaan atas nama Islam. Ketika kita mencoba menekan perasaan, yang justru terjadi adalah malapetaka. Perasaan justru semakin membesar lalu menjadi Tuhan kita. Lalu, apa arti taqwa pada akhirnya?
Taqwa bukanlah menghapus perasaan tetapi mencari jawaban atas apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى inginkan agar aku bisa mengalihkan yang aku rasa. Bagaimana caranya agar aku menyalurkan perasaanku sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى? Kemarahan, misalnya, adalah hal yang valid. Pertanyaannya, bagaimana aku bisa mengelola marahku? Emosi sendiri bisa sangat kuat dan dapat membuat kita melakukan hal yang gila. Bahkan, Nabi Musa عَلَيْهِ السَّلَامِ meminta perlindungan dari setan usai membunuh orang sebagaimana tertulis dalam Surat Al-Qashash ayat 15.
Sehingga, elemen muttaqin adalah mengendalikan perasaanku. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memanduku melalui perasaanku. Jika aku merasa kesepian, aku sebaiknya mengingat Ashabul Kahf, nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَّلَامِ dan nabi Yusuf عَلَيْهِ السَّلَامِ saat ia berada di penjara. Terdapat banyak kisah orang yang terisolir dan sendirian yang dari kisah mereka aku bisa mendapatkan ketenangan. Sebab setiap emosi membukakan celah bagi setan agar kita mengikuti bisikannya menuju hal yang mereka mau. Atau, setiap emosi tersebut merupakan peluang kita menunjukkan ketaqwaan kita kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.
Apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى katakan tentang orang muttaqin? فِيْ جَنّٰتٍ “mereka akan berada di taman-taman.” Ada pendapat sarjana modern yang non-Muslim terkait hal ini. Mereka pada intinya menyinggung kenikmatan surga berupa taman yang wajar diberikan ke orang Arab yang hidup di gurun. Ada semacam spesifikasi ganjaran surga khusus untuk orang Arab. Sedangkan bagi bangsa lain, misalnya orang di Jakarta, taman bukanlah hal yang terlalu istimewa sebab mudah menemukan pohon di Jakarta.
Dan memang pada zaman dulu, orang Arab berimajinasi mengenai tempat tropis. Sehingga wajar taman atau pohon ditujukan khusus untuk mereka. Balasan ini dirasa pas sebab orang-orang Arab zaman Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan pengorbanan terbesar. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut ganjaran yang memang pantas bagi mereka. Contoh ganjaran tersebut adalah pohon dan kurma, yang disukai oleh para sahabat Rosulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dalam surat Ar-Rahman, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut tenda. Jika Anda bepergian ke Arab Saudi, Dubai atau Qatar, bahkan milyuner di sana akan pergi ke gurun dan mendirikan tenda ber-AC. Begitulah cara mereka bersantai di gurun.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut hal yang spesial untuk orang Arab untuk menunjukkan status mereka yang istimewa bagi-Nya. Tetapi, bukan berarti kita atau saya tidak istimewa. Bukan berarti saya tidak akan masuk ke surga hanya karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak menyebutkan ganjaran untuk saya. Sehingga, ada dua kategori. Yang pertama, hal khusus yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Misalnya, “daging burung yang ingin mereka makan.” Jenis daging di sini bisa apa saja, contohnya adalah kalkun.
Masih tentang taman. Tengoklah zaman sekarang salah satu jenis bangunan/arsitektur termahal adalah yang bisa membawa yang di luar ke dalam rumah. Orang yang tinggal di kota besar menginginkan فِيْ جَنّٰتٍ alias rumah mereka dikelilingi oleh hijau-hijauan. Mereka mengharapkan melihat tumbuhan hijau yang ada di luar rumah mereka. Mereka menginginkan air terjun dan kaca di dalam rumah. Inilah bentuk desain yang termahal sekarang ini. Kediaman ini biasanya tidak ada di dalam kota tetapi jauh dari situ. Itupun membutuhkan perawatan yang banyak, misalnya banyak pohon berarti akan ada banyak hama, hewan, dan lainnya. Pemilik harus rajin membersihkannya. Rumah itu terlihat indah tetapi menyebabkan masalah baru. Saat tinggal di rumah di lokasi tersebut, pemiliknya harus pergi jauh hanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Di dunia ini, kita bisa menikmati فِيْ جَنّٰتٍ tetapi tidak untuk نَعِيْمٍۙ
Sedangkan, di surga nanti, kita bisa menikmati keduanya. Selain kemewahan berupa berada di rumah dengan tumbuhan yang hijau, kita tidak perlu pusing membayar biaya perawatan dan keamanannya. Semua kenikmatan akan dinikmati tanpa kekhawatiran apapun.
Kata na’im bisa mengindikasikan sebuah kediaman tetapi juga bisa berarti segala hal di Jannah merupakan kemewahan. Makanan dan selimut semuanya mewah. Segala hal dirancang untuk membuat kita nyaman. Na’im dalam khazanah dunia berarti orang yang bersyukur atas naim di dunia ini maka ia akan menikmati naim di dunia berikutnya. Kediamanan di Jannah tidak membutuhkan perawatan yang mahal. Cuaca akan selalu sempurna, begitu pula pemandangan dan sekelilingnya. Sulit untuk dibayangkan kesempurnaannya.
Itulah awal kenikmatan surga dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى di sini. Ambil contoh saat kita berlibur, kita bisa jadi merasa cemas. Apakah harganya terlalu mahal? Harusnya kita bisa ke sini, ke situ. Pada akhirnya, kita malah tidak menikmati liburan. Kita tidak benar-benar bisa bersantai. Ada orang yang malah lebih khawatir dan stres saat liburan.
Ide dari fiijannatinna’im adalah terbuangnya rasa cemas dan stres semacam itu. Ada perasaan kedamaian internal selain kemewahan eksternal. Kita tidak stres, tidak seperti saat di dunia dimana bisa saja kita malah mengingat kenangan buruk pada tempat yang sebenarnya indah.
Ada kontras yang indah di sini dimana muttaqin adalah orang yang selalu cemas. Sekarang, saat para muttaqin benar-benar bisa bersantai luar dan dalam. Bandingkan orang muttaqin dengan orang khaud.
Ayat 18
فٰكِهِيْنَ بِمَآ اٰتٰىهُمْ رَبُّهُمْۚ وَوَقٰىهُمْ رَبُّهُمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ
“Mereka bersuka ria dengan apa yang Tuhan anugerahkan kepada mereka. Tuhan menjaga mereka dari azab (neraka) Jahim.”
Kata فٰكِهِيْنَ
mempunyai empat makna:
- Sesuatu yang bisa dinikmati dan menyenangkan. Jadi, orang yang fakihin adalah yang menikmati diri mereka sendiri dalam momen yang menyenangkan.
- Sesuatu yang membuatmu tersenyum dan tertawa.
- Seseorang yang terhibur sepanjang waktu.
- Sesuatu yang sangat menakjubkan. Ada antusiasme yang konstan.
Mari bandingkan dengan pengalaman duniawi dimana Anda membawa anak-anak ke kebun binatang setiap hari. Mereka akan terkejut saat pertama kali melihat binatang di kebun binatang tersebut tetapi tidak jika mengunjunginya untuk ke-7 kalinya. Anda tidak bisa terhibur dan makan makanan yang sama lalu menikmatinya setiap hari. Anda akan selalu membutuhkan hal yang baru.
Ada yang mengatakan: “Aku tidak mau menuju ke tempat yang hebat setiap waktu. Aku ingin menikmati tantangan. Aku ingin menyelesaikan masalah Matematika yang sulit. Aku tidak mau pergi ke tempat dimana tidak ada masalah.”
Kata fakihiin membahas orang seperti ini. “Selamanya” tampak membosankan tetapi fakihiin menghilangkan bosan dari diri Anda. Mari kembali ke contoh orang yang seringkali berlibur hingga mereka tidak menemukan hal yang menarik lagi. Kita tidak akan merasakan hal tersebut saat merasakan fakihiin. Itulah sebabnya orang terus mencari pengalaman baru hingga akhirnya merasa depresi sebab merasa tidak ada lagi yang ditawarkan oleh dunia ini.
Berikutnya, بِمَآ اٰتٰىهُمْ
“oleh apa yang diberikan Rabb mereka.”
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, mereka menikmati lebih dari ketaqwaan mereka. Balasan saat di surga berdasarkan apa yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berikan, bukan semata karena ketaqwaan mereka. Sedangkan mereka yang masuk ke dalam api neraka memperoleh balasan sesuai perbuatan mereka. Di dunia ini, ketika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memberikan peluang yang bagus, kesempatan tersebut bisa merupakan anugerah atau ujian. Tetapi, pertanyaan “apakah ini baik atau buruk” tidak akan ada saat berada di surga. Tidak ada kecemasan atau kekhawatiran saat berada di Jannah. Aku bisa menikmati semuanya tanpa berpikir berlebihan apakah yang dinikmati hal yang bagus atau akan menimbulkan akibat buruk di Hari Kemudian.
Kebahagiaan tetaplah kurang jika merasa cemas. Ini tentu saja berlawanan dengan makna sabar yang berarti menahan diri. Anda tidak bisa sepenuhnya menikmati. Namun, saat berada di surga, pintu kenikmatan terbuka lebar tanpa adanya konsekuensi. Sungguh bertolak belakang dengan yang kafir yang biasanya menikmati tanpa batasan atau kekhawatiran.
Masih ayat ke-18:
وَوَقٰىهُمْ رَبُّهُمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ
Dalam ayat tersebut, kata Rabb disebut dua kali. Ini menandakan berkah kedua berbeda dari yang pertama. Ketika berada di Jannah, tentu saja tidak berada di neraka. Alasan kedua kata Rabb disebut dua kali adalah berada di Jannah merupakan kebahagiaan pada level yang lebih tinggi. Dia melindungi kita dari hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain.
Ayat 19
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۙ
Kata yang perlu diperhatikan: هَنِيْۤـًٔا
Hanii berarti makanan yang mudah ditelan, lembut, dan menyenangkan untuk dimakan. Anda ingin menikmati setiap gigitannya. Kata ini juga dipakai untuk hewan yang sangat menikmati memakan rumput. Mereka tidak mau berhenti makan hingga sang pemilik harus mengambil makanan itu. Hanii juga merujuk pada makanan dengan efek yang bergizi. Arti berikutnya, “tidak diraih tetapi diberikan.”
“Makan dan minumlah, nikmatilah dan kamu tidak akan merasa berlebihan.” Ingat cerita Nabi Adam عَلَيْهِ السَّلَامِ dan Hawa, yang mendengar perintah, “makan dan minum tetapi tidak dari pohon itu.” Sekarang, tidak ada batasan di surga. Hanii juga berarti kehidupan liar. Kenikmatan di dunia ini sangat terbatas. Kita tetap saja merasakan beban tertentu meski sedang menikmati hal yang menyenangkan. Di surga, hal tersebut akan dihilangkan.
Pada awal ayat ini, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengatakan “mereka” tetapi tiba-tiba beralih ke “makan, minumlah”. Ketika Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut “makan, minum”, perintah tersebut tidak hadir di masa depan melainkan pada masa sekarang. Di hidup yang sekarang ini, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى secara harfiah membawaku ke dalam surga seperti pada ayat sebelumnya Dia membawaku ke kejadian di Hari Pembalasan. Kita mendengar Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berbicara langsung ke kita.
Rasanya berbeda saat Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sendiri yang berbicara langsung. Rasa makanan dan minuman ekstra nikmat dan enak. Namun, itu belum cukup. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menambahkan: “Makan dan minumlah sebab apa yang dulu pernah kamu perbuat.” Tetapi kita tahu bahwa kita di Jannah karena kebaikannya. Apa yang dulu kita lakukan tidak akan pernah cukup untuk memperoleh Jannah. Tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengambil perbuatan yang kecil tersebut untuk membuat kita relevan. Perbuatan yang kecil tersebut misalnya kita meninggalkan karir yang buruk. Bagi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, keputusan itu begitu berharga.
Manusia lebih fokus mengungkit kekurangan kita ketimbang kebaikan kita. Di Jannah, tidak ada yang lapar dan haus. Jadi di sini, bukan makan dan minum secara fisik melainkan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى ingin kita menikmati diri kita sendiri.
Pengakuan adalah yang hal yang menghancurkan setan. Beberapa orang melakukan hal biadab hanya merasa tidak diakui. Contohnya adalah saudara dari Nabi Yusuf عَلَيْهِ السَّلَامِ. Pengakuan merupakan penyakit gila yang tertanam dalam diri kita. Ia lebih berbahaya dibandingkan makanan, uang, dan minuman.
Pesan dari ayat ini adalah tidak ada perbuatan baik yang terlewatkan. Aku tidak pernah kasat mata. Merasa tidak terlihat adalah bencana terbesar dalam studi psikologi. Tidak satu pun tidak tercatat. Rabb aku selalu bersamaku sepanjang waktu. Mungkin lebih dari makanan dan minuman, pengakuan dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى itulah yang lebih kita butuhkan.